Thursday, April 1, 2010

TERORISME DAN SMART POWER AS DI ASIA TENGGARA

Nibras Hanif

Dua bom tiba-tiba meledak di Jakarta ditengah tudingan keterlibatan asing atas dugaan kecurangan hasil pemilihan presiden tahun 2009. Beragam analisis berkembang namun beberapa pihak meminta peristiwa tersebut tidak dikaitkan dengan pilpres. Analisis yang masif memonopoli pemberitaan media menyatakan bahwa pelaku dan motif peristiwa peledakan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton tidak berbeda dengan pengeboman yang terjadi sebelumnya yakni oleh kelompok Jama’ah Islamiyah. Segera respon dunia mengemuka. Pertemuan Menlu Asia di Pukhet Thailand yang diikuti AS mendorong lebih kuat kerjasama regional untuk melawan terorisme.1 Dr AC Manulang Pengamat Intelijen dan Militer, mantan Ka BAKIN menyatakan aksi terorisme adalah operasi intelijen dan fokus utama intelijen adalah kepentingan negara dan target yang harus dicapai dalam kerangka kepentingan negara, bukan kepentingan perseorangan. Masih menurut Manulang, saat ini Indonesia ada dalam grand strategy global Amerika Serikat (AS) yang mengusung neoliberalisme dan neokapitalisme sementara keduanya memiliki masalah dengan Islam yang kuat di Indonesia. Karenanya analisis seharusnya di tarik ke ranah tersebut.2

Menguatnya Kepentingan AS
Era baru pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Obama menunjukkan menguatnya kepentingan AS di wilayah Asia Tenggara dan Indonesia khususnya. Kunjungan Menlu AS Hillary Clinton memilih Asia dan Indonesia sebagai tempat lawatan pertamanya merupakan salah satu buktinya.3
Secara geopolitik Asia Tenggara adalah jalur persimpangan (crossroad) antara konsentrasi industri, teknologi dan militer di Asia Timur laut dan sub benua India serta sumber minyak di Timur Tengah, Australia dan Pasifik Tenggara. Asia Tenggara juga memiliki proporsi tinggi dari perdagangan Jepang, Korea, Taiwan, Australia termasuk import minyak, transit dan jalur komunikasi laut di Asia Tenggara. Dari perspektif militer, jalur laut ini kritis bagi pergerakan angkatan bersenjata AS dari Pasifik Barat ke Samudera Hindia dan Teluk Persia. Adapun secara kultural, wilayah maritim Asia Tenggara adalah tempat berdiam bagi populasi muslim terbesar di dunia yang jumlahnya lebih dari 200 juta.
AS sangat berkepentingan dengan suksesnya eksperimen demokrasi di Indonesia yang merupakan negeri muslim terbesar. Kesuksesan eksperimen demokrasi di Indonesia diharapkan akan menghapuskan opini bahwa demokrasi tidak kompatibel dengan kultur politik di negeri-negeri muslim. Sebelumnya eksperimen demokrasi AS di Irak, Afganistan dan negeri-negeri muslim lainnya menemui kegagalan. AS memerlukan succes story baru yang memberinya peluang untuk tetap menanamkan pengaruh dan meraih kepentingan-kepentingannya. Tak heran meski pejuangnya maupun pengamat dalam negeri menyebut demokrasi Indonesia tak pernah keluar dari watak prosedural semata toh Menlu Hillary Clinton memuji Indonesia sebagai negeri muslim demokratis terbesar yang layak menjadi model percontohan.

AS berkepentingan menjadikan suara Islam Indonesia sebagai representasi suara Islam dunia, dan menshapingnya selaras kepentingannya. Ini tentu sulit dilakukan bila argumentasi perlawanan terhadap hegemoninya terus menerus digaungkan di negeri-negeri muslim. Karenanya track record AS juga dipenuhi oleh berbagai strategi kultural untuk mengatasinya semacam pendanaan pesantren-pesantren, perubahan kurikulum dan dukungan terhadap liberalisasi bahkan upaya rejuvenilisasi elit- elit penguasa.

Pendekatan Smart Power
Naiknya Obama memikul serta beban krisis ekonomi, anjloknya popularitas AS di mata sekutunya dan meluasnya penolakan dunia Islam. Laporan Connetta dalam Losing Heart and Mind : World Opinion and post-9/11 US Security Policy merangkum review berbagai jajak pendapat termasuk pandangan negatif 70 persen publik Indonesia terhadap AS. Conetta menutup analisanya dalam satu konklusi : the world against us. 4. Dalam keadaan semacam itulah AS berusaha menjalin hubungan lebih komprehensif dengan Indonesia. Dan seiring dengan penguatan kepentingan AS di Asia Tenggara, rezim Obama dipersiapkan dengan apa yang disebut sebagai Smart power. Smart power bukan bermakna kosongnya pendekatan militer. Strategi itu adalah sebagaimana yang dijelaskan Hillary “It is the full range of tools at our disposal, advocating a mix of diplomatic, economic, military, political legal and cultural strategies. 5 It means using all the levers of influence - diplomatic, economic, military, legal, political and cultural - to get what you want".6
Mengacu pada strategi pertahanan 4 tahunan AS yang digawangi Gates (menhan rezim Bush dan rezim Obama), sesungguhnya AS berada dalam kondisi a wartime sense of urgency 7. Adapun posisi Indonesia dalam strategi baru tersebut Hillary menegaskan dengan pernyataannya "building a comprehensive partnership with Indonesia is a critical step on behalf of the United States' commitment to smart power".8
Melalui smart power, jatuhnya perekonomian dan citra AS berusaha dipulihkan dengan pendekatan multilateral antara lain melalui ASEAN.9 Pendekatan multilateral dianggap efektif karena AS bisa menanam pengaruh secara signifikan tanpa harus tampak intervensif pada kebijakan tiap negara. Agenda-agenda politik yang diinisiasi AS diharapkan akan diimplementasikan dan mengikat melalui lembaga-lembaga multilateral. Efektifitas pilihan kebijakan AS juga diharapkan akan sempurna dengan pola bilateral yang dikelola secara dinamis terhadap negara sekutu maupun non sekutu AS. Efektifitas hasil inilah yang diharapkan AS sebagaimana target dalam reformasi strategi pertahanannya from focus on kinetics, to focus on effect; from static alliance to dynamic partnership. 10. Ini belum termasuk penguatan aktivitas-aktivitas di bawah permukaan semacam penguatan intelijen yang direformasi from emphasis on ship, guns, tanks and planes to focus on information, knowledge, and timely actionable intelligence. 11

Ke depan
Menguatnya opini terorisme seiring dengan politik regional AS di wilayah Asia Tenggara telah memberi sinyal bahwa kawasan ini akan segera menjadi panggung panas perpolitikan AS berikutnya. Bila di masa lalu Bush menyebut Asia Tenggara sebagai the second front dari peperangannya melawan terorisme, ke depan Asia Tenggara secara invisible bisa menjadi front baru bagi AS sebagaimana Pakistan, Afganistan, Iran dan negeri muslim lainnya. Upaya reinvigorasi multilateralisme oleh AS, penguatan kerjasama militer, masifnya latihan gabungan, bantuan kapabilitas yang mengintegrasikan negara-negara di ASEAN menunjukkan kecenderungan tersebut.
Sementara itu desain postur pertahanan sebuah negara sangat bergantung terhadap apa yang didefinisikan oleh negara tersebut sebagai ancaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan Islam selama ini adalah kelompok yang kritis menyuarakan perlawanan terhadap hegemoni AS. Meletakkan gerakan Islam sebagai ancaman tunggal sebagaimana AS mendefinisikan musuhnya ibarat mengaktifkan radar untuk melacak satu umpan dan menonaktifkannya terhadap ancaman sesungguhnya yang lebih besar. Lebih jauh memilih menjadi sekutu dekat AS memungkinkan Indonesia justru menjadi radar dan objek penderita bagi kepentingan-kepentingan AS serta mengakhiri harapan untuk bisa keluar dari dominasinya.

Penting untuk dipahami bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa fenomenal saat naiknya kepemimpinan baru adalah hal yang sangat krusial. Kepemimpinan baru ibarat cek kosong yang diperebutkan oleh berbagai keputusan dan kesepakatan yang akan menentukan nasib bangsa ke depan termasuk nasib pertahanannya. Bagi kita umat yang memperjuangkan independensi, hendaknya mencermati secara serius dan kritis terhadap berbagai strategi adidaya walau sedang berdiri diatas terpaan stigmatisasi dan propaganda.

Daftar bacaan :
1 ChannelNewsAsia, ASEAN ministers condemn Jakarta bombings, 18 July 2009, http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/443276/1/.ht...
2 http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/255665/
3,8 Al Arabiya As Obama urges better US ties with the Muslim world Clinton visits Indonesia in multi-leg tour of Asia
4 Carl Conetta, Losing Hearts and Minds: World Public Opinion and post-9/11 US Security Policy, Project on Defense Alternatives Briefing Memo #37. Cambridge, MA: Commonwealth Institute, 14 September 2006. http://www.comw.org/pda/0609bm37.html
5 http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/northamerica/usa/barackobama/4229917/Hillary-Clinton-promises-new-foreign-policy-approach.html
6 http://www.timesonline.co.uk/tol/news/politics/article5522680.ece
7, 10, 11 Quadrennial Defense Review Report 2006
9 http://www.australia.to/index.php?option=com_content&view=article&id=12671:politics-clinton-heralds-deeper-us-ties-with-south-east-asia&catid=71:world-news&Itemid=201

No comments:

Post a Comment