Thursday, April 1, 2010

OBAMA DAN NARASI BARU TERORISME

Nibras Hanif

Promosi rencana kedatangan Obama oleh media, dipadu sedemikian rupa dengan berita perburuan teroris. Tersangka yang langsung ditembak mati oleh Densus 88 disebut-sebut sebagai alumni jihad Afganistan dan memiliki keterkaitan dengan kelompok jihad di Filipina bahkan menjadi target buruan Amerika seharga 10 juta dolar AS.1 Maka berlanjutlah tayangan terorisme yang belakangan ini diputar dalam kemasan feature minim analisis (berupa catatan perjalanan investigasi reporter di Filipina dan Thailand)- dengan hujan opini keterkaitan jaringan teroris di Indonesia dengan sejumlah negara di Asia Tenggara. Juga tentang perubahan pola terorisme yang sebelumnya menyasar simbol-simbol dominasi asing kini menargetkan para pejabat negara dan instalasi penting dalam negeri.2,3

Meski diingkari keterkaitannya dengan kedatangan Obama, peristiwa ini agaknya akan menandai dicapainya kesepakatan penting dalam comprehensive partnership khususnya agenda kerjasama pertahanan Indonesia-AS yang tentu tak lepas dari agenda regional AS di Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Sebagaimana diungkap oleh juru bicara Gedung Putih Robert Gibbs, selama kunjungannya ke Indonesia pada 23 Maret mendatang, Obama akan menekankan soal langkah-langkah antiterorisme, sekaligus realisasi pidatonya di Mesir yang menghimbau perbaikan hubungan antara AS dan dunia Islam.4 Kiranya, membaca strategi counterterorisme Obama penting dilakukan untuk memahami secara utuh implikasinya bagi dunia Islam utamanya bagi Indonesia.

Strategi Obama
Asisten Presiden AS untuk Homeland Security dan Counterterrorism, John Brennan dalam forum khusus CSIS (06/08/2009) menjelaskan pendekatan baru Obama mengelola perang terhadap terorisme.5 Brennan, dalam penjelasannya menampik tudingan bahwa pendekatan Obama adalah upaya bongkar total terhadap kebijakan dan praktik yang diadopsi Bush. Sebaliknya strategi baru ini menurutnya adalah pendekatan realis yang dirancang untuk memperbaiki reputasi moral Amerika sekaligus memperkuat keamanan nasionalnya, tidak sebagaimana kebijakan Bush yang divergen sebelumnya.

Obama berusaha memisahkan dua tantangan yang diidentifikasinya saling terkait tetapi keduanya sangat berbeda. Tantangan pertama adalah apa yang disebutnya sebagai immediate-near term challenge yakni persistent-evolving Al Qaida and its affiliation. Terhadap tantangan ini Obama menegaskan sikapnya pada inagurasi ”our nation is at war against a far-reaching network of violence and hatred. And to win this war against Al qaida, the administration continues to be unrelenting, using every tool in its toolbox and every arrow in its quiver”. Untuk menghadapinya, sebagaimana diungkap Brennan, presiden AS ini mengoptimalkan kekuatan militer termasuk meningkatkan kapabilitas terutama Angkatan Darat dan Angkatan Laut, memimpin rezim global nonproliferasi, adaptasi dan penguatan komunitas intelijen termasuk peningkatan kemampuan lingusitik-kultural, kolaborasi dan koordinasi dengan partner intelijen luar negeri.
Adapun tantangan kedua adalah apa yang disebutnya sebagai long term challenge- the threat of violent extremism generally, termasuk faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial yang dinilai menjadikan banyak individu berada dalam jalur kekerasan, maka pendekatan militer, operasi intelijen dan penegakan hukum saja menurutnya tidak akan mampu mengatasi masalah ini. Lima elemen pendekatan Obama untuk mengatasinya yaitu :

1. Perlawanan terhadap teroris dan ekstrimis diletakkan pada posisi yang tidak lagi mendistorsi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS tetapi menjadi bagian penting (vital part) dari kebijakan-kebijakannya yang lebih luas tersebut.
2. Obama tidak lagi menggunakan War on terrorism untuk mendefinisikan tantangan AS karena menurutnya terorisme tidak lain adalah taktik –alat untuk mencapai tujuan. Sedang tujuan yang sesungguhnya (the end game) adalah “Global domination by Islamic Caliphate” (Brennan menyebut hal ini dg Al Qaeda sebagai contoh kasus). Namun demikian Brennan menegaskan untuk tidak menggambarkan konflik ini sebagai perang global karena ini akan meletakkan AS pada situasi berbahaya yakni mengesankan AS sedang berperang dengan seluruh dunia. Menurutnya sangat beresiko untuk meletakkan AS terpisah dari dunia.

3. Obama menolak istilah ‘jihadist’ pada teroris muslim karena akan memberikan legitimasi relijius dan pada saat yang sama memberi kesan AS sedang berperang dengan Islam. Definisi tantangan yang dikembangkan pemerintah Obama adalah AS sedang berperang dengan ‘violent extremism dan ideologies of violence.

4. Mengatasi faktor-faktor hulu pemicu ‘violent extremism’ dengan menjawab kebutuhan dasar masyarakat seperti keamanan, pendidikan, lapangan pekerjaan untuk mengisolasi ekstrimis dari masyarakat luas yang hendak mereka layani. Para ekstrimis (Brennan mencontohkan Hizbullah dan Hamas) dinilai memanfaatkan kemiskinan masyarakat untuk merekrut mereka melalui jaminan sosial yang mereka tawarkan lalu mengindoktrinasi masyarakat untuk melakukan tindakan teror. Dengan mengatasi faktor-faktor hulu ini diharapkan opini yang salah -yang dikembangkan para ekstrimis- bahwa AS sebenarnya ingin menjadikan masyarakat tetap melarat dan lemah akan bisa dihapuskan. Selanjutnya, masyarakatlah yang kemudian akan mengisolasi para ekstrimis dan bukan AS yang harus melakukannya.

5. Menggunakan semua elemen kekuatan nasional untuk mengatasi penyebab dan kondisi pemicu berbagai ancaman termasuk violent extremism. Brennan menjelaskan sikap Obama dengan pernyataannya “We will use our military power not only to take down Al Qaida and its allies but to train and build up the capacity of foreign militaries and security forces, as we doing from Iraq to Afganistan, to Africa because if these militaries and security forces can uphold the rule of law, if these countries can take responsibility for their own security than militias, warlords and terrorist will find it harder to win sympathizers and recruit with false promise of security and stability”.

Narasi Baru
Sesungguhnya narasi baru telah dikembangkan seiring perubahan strategi counterterorisme Obama. Pidato Obama di Kairo menandai hal tersebut dengan upayanya mengubah opini dunia Islam yang sebelumnya memandang hegemoni dan ketidakadilan global di bawah kepemimpinan AS sebagai akar penyebab teror untuk berbalik menuding ideologi teroris sebagai pemicunya. Sesuatu yang dirancang, diinisiasi dan diusahakan tapi tak mampu diwujudkan oleh Bush. 6

Melalui narasi ini sesungguhnya Obama telah menggeser fokus dari perang terhadap teror  kepada perang terhadap ideologi yang dituding melatarbelakangi teror sebagaimana yang disebut Brennan perang melawan violence exstrimist dan ideologies of violence. Itulah alasan mengapa counterterorisme kini menyasar ekstrimis yakni kelompok yang dituduh memiliki pemahaman/ideologi Islam yang ekstrim, terdistorsi atau sesat (distorted/perverted) dan karenanya dituding potensial melakukan teror. Ideologi inilah yang hendak diadili dan berusaha dialienasi karena diproyeksikan mampu menginspirasi banyak orang untuk mengalami radikalisasi sehingga mengambil jalan kekerasan. Karenanya teroris yang di masa Bush digambarkan sebagai musuh global dengan sasaran utama AS dan sekutunya kini berganti menjadi ekstrimis jahat yang mengancam keamanan nasional.

Apa yang menjadikan Obama mampu menaikkan level dari perang terhadap teror kepada perang ideologi dengan tanpa tampak berperang dan mencemari citranya sebagai sosok yang berniat menjalin hubungan baik? Selain didukung oleh kemampuan diplomasi dan upayanya memisahkan strategi counterterorisme dengan promosi demokrasi, tidak lain adalah karena warisan Bush. Diakui atau tidak pemerintahan Bush telah mewariskan infrastruktur perang ini baik dalam front kultural maupun militer.

Dalam front kultural, AS di bawah Bush telah meletakkan landasan war on ideas dan battle for hearts and mind serta mengembangkan konsensus pada negara-negara Barat sekutunya bahwa perang tersebut harus dimenangkan dan bila tidak maka akan lebih banyak muslim yang berubah menuju radikalisme (Islam). Hari ini, sekutu AS menangani berbagai isu yang terkait dengan berkembangnya aspirasi umat Islam termasuk dalam politik di lingkungan domestik  mereka melalui logika yang serupa yakni meletakkan penyebaran ideologi yang dituduh melatarbelakangi terorisme itu sebagai ancaman keamanan nasionalnya dan menggunakan langkah serupa yakni counterradikalisasi.7 Didalamnya terintegrasi program yang mereaktualisasi berbagai strategi kultural yang telah dibangun Bush yang bertumpu pada upaya perubahan Islam dari dalam.

Sebagaimana yang ditulis Kaplan (2005), secara praktis sejak 2003, setelah kegagalannya dalam perang 9/11, Bush mengubah operasi dari psikologi militer dan CIA yang tertutup kepada pendanaan secara luas think tank dan media. Setelah ratusan penelitian dan interview, dihasilkan rekomendasi yang disebut sebagai Islamic Reformation. Rencana yang dikutip Kaplan sebagai working through third parties--moderate Muslim nations, foundations, and reform groups--to promote shared values of democracy, women's rights, and tolerance. Washington menggelontorkan miliaran dolar bukan hanya untuk mempengaruhi masyarakat Islam melainkan Islam itu sendiri. Pada lebih dari 2 lusin negeri Islam, Washington secara diam-diam mendanai radio Islam, TV, kursus di sekolah muslim, para pemikir muslim (muslim think tank) workshop politik dan berbagai program untuk mempromosikan Islam moderat. CIA juga merevitalisasi program dan aksi-aksi tersembunyinya saat membantu memenangkan perang dingin untuk digunakan menyasar media Islam, pemimpin relijius dan partai-partai politik dan karenanya menerima peningkatan secara eksponensial dana, personalia maupun aset untuk mempengaruhi dunia Islam. Diantara taktik-taktik tersebut adalah bekerjasama dengan militan yang berselisih paham dengan Al Qaeda dan melancarkan kampanye rahasia untuk mendiskreditkan pengikut fanatik anti Amerika.8 Demikianlah strategi kultural ini telah diinisiasi dan hingga kini terus berlanjut.

Dalam front militer Bush telah mendanai dan mengembangkan armada militer di berbagai negara untuk memerangi teroris yang sekarang ini disasar sebagai ekstrimis. Laporan RAND-CISS 2009 misalnya menjelaskan sejak kurun waktu AS telah mendanai pembentukan elit densus 88 di Indonesia.9 Tak jauh beda dengan di negeri-negeri muslim lain, narasi baru terorisme juga membangun opini bahwa level ancaman ekstrimis telah sampai pada titik yang mengharuskan negara melakukan pendekatan terintegrasi bahkan penguatan kerjasama regional untuk menghadapinya dengan menafikan ancaman lainnya. Tentu saja ini dilakukan melalui infrastruktur lama yang telah dibangun pemerintah AS sebelumnya.

Maka dengan infrastruktur perang yang telah dibangun di berbagai negara, pergeseran front ini mau tidak mau dihadapkan pada masing-masing negara untuk menanganinya sebagai ancaman nasional negara yang bersangkutan. Soft Power AS di bawah Obama membuat negara –negara berperang dengan terorisme seolah-olah untuk kepentingan mereka bukan lagi untuk kepentingan AS. Melalui bangunan infrastruktur perang warisan Bush baik dalam front kultural maupun militer, dan narasi baru Obama, negara-negara didorong melakukan perang internal dengan ekstrimis dan AS akan membantu mereka untuk terus meningkatkan kapabilitas negara menghadapi ancaman ini. Inilah pendekatan Obama, sekali lagi sesuatu yang diinginkan tapi tak mampu direalisasikan Bush.

Indonesia dan dimensi regional
Laporan RAND – CISS 2009 telah menunjukkan framing narasi tersebut melalui analisanya terhadap beragam kelompok yang dituding sebagai militan ekstrimis dan dinilai potensial berkembang menjadi teroris di wilayah Asia Tenggara utamanya di Filipina, Thailand dan Indonesia.10 AS memetakan mereka sebagai ancaman utama bagi keamanan nasional dan ancaman riil bagi keamanan regional. Dalam dimensi regional mereka dituding AS berbahaya sebagai kelompok yang melakukan kekerasan bermotif politik yang mengeksploitir dan memperburuk konflik di Asia Tenggara. Bila di wilayah timur tengah konflik antar negara (inter-state) rawan untuk dimanfaatkan maka di Asia Tenggara, konflik –konflik internal (dalam negeri/intra-state) sebagaimana laporan Vatikiotis 11 inilah yang agaknya terus dibidik sebagai jalan masuknya campur tangan AS baik secara bilateral maupun multilateral.

Sejumlah rekomendasi kebijakan asistensi keamanan AS di Asia Tenggara dalam rangka menjaga kepentingannya dilakukan melalui langkah-langkah:
1) Mengintegrasikan secara lebih baik strategi counterterorisme (CT), hukum dan peraturan serta kebijakan-kebijakan pembangunan untuk mengatasi isu-isu korupsi di wilayah ini. Hal ini dinilai krusial agar para pejabat terpilih dan birokrat mampu memenangkan kepercayaan komunitas mereka sendiri dan dengan cara demikian mengabaikan teroris dan pengaruh politik mereka

2) Melanjutkan reformasi polisi di Filipina dan Thailand

3) Membantu menciptakan wilayah yang tidak terlalu ramah bagi terorisme di Asia Tenggara melalui peningkatan dukungan terhadap institusi-institusi regional semacam ASEAN, ASEAN Regional Forum, APEC, dan EAS (East Asia Summit). Penyaluran bantuan keamanan dan pendampingan counterterorisme melalui kerangka kolaboratif semacam ini diharapkan akan mengurangi persepsi bahwa terorisme adalah kepentingan khusus AS. Langkah ini juga dinilai akan memberi kesempatan untuk menunjang kapabilitas area setempat ketika Washington tidak mampu mengambil tindakan secara bilateral karena alasan politik maupun logistik

4) Menekan kesepuluh negara ASEAN untuk menandatangani dan meratifikasi seluruh (16) konvensi PBB terkait counterterorisme

5) Menekankan penggunaan ‘soft power’ untuk memperkuat pemerintahan lokal di wilayah yang rentan terhadap propaganda fundamentalis (melalui INCLE); mendorong militer dan polisi untuk memiliki kesadaran yang lebih besar terkait HAM dan aturan lain (melalui IMET) dan meningkatkan pembangunan sosioekonomi secara umum (melalui USAID atau ESF)

6) Menambah penggunaan ‘soft power’ dengan ‘smart power’ melalui langkah-langkah : (a) mempelopori diplomasi publik, pertukaran dan upaya-upaya pendidikan untuk mendiskreditkan pemahaman/intepretasi Islam yang sesat; (b) memberdayakan para pemimpin muslim moderat sebagai suara negosiasi relijius yang lebih besar; (c) meneliti alternative yang mungkin digunakan untuk mengurangi tarikan sentiment –pan regional dari dalam keluar, dengan memastikan sejauh mana muncul celah antara JI mainstream dan faksi pro pengeboman yang dapat dieksploitasi; (4) mempromosikan reformasi penjara untuk mengurangi potensinya digunakan sebagai pusat rekrutmen atau radikalisasi.

7) Memberi perhatian lebih besar untuk identifikasi dan mendukung sistem penyiaran konvensional maupun non konvensional serta sistem pengiriman pesan yang secara efektif dapat digunakan dalam strategi komunikasi multi-lapisan. Semua ini ditujukan untuk melawan aktivitas penyesatan oleh kelompok-kelompok ekstrimis.

Catatan Kritis
Sesungguhnya narasi terorisme sejak dicetuskan pertama kali hingga direvisi saat ini telah menjadi bahasa monolitik AS. AS yang merancang, menginisiasi, dan memperbaharui dengan pendekatan yang silih berganti. Sementara dengan alasan interdependensi, dunia dan negeri Islam pada umumnya terus didesak untuk membangun pertahanan negaranya atas dasar ancaman yang juga didefinisikan secara monolitik oleh AS. Lalu akan seperti apa masa depan Indonesia yang telah dihisap kekayaannya, dimiskinkan penduduknya, dibeli pemimpinnya, dirusak generasi mudanya, diperkosa khasanah intelektual dan keyakinannya? Juga akan seperti apa masa depan dunia yang terus dipojokkan untuk melanjutkan kegagalan sistemik dari tatanan politik dan ekonomi impor, sehingga seolah-olah Pencipta alam ini tidak memberi jalan keluar sama sekali? Tentu pertanyaan ini tidak bisa dialamatkan kepada Obama dengan narasi barunya dan kepentingan nasionalnya. Pertanyaan itu hanya bisa ditujukan kesadaran politik umat Islam. Pada sejauhmana aspirasi keimanan mendidik kepekaannya untuk mencermati berbagai strategi dalam upayanya mengemban tanggung jawab menyelamatkan Indonesia dan dunia. Wallahu ‘alam

Daftar Bacaan :
1 http://nasional.tvone.co.id/berita/view/34100/2010/03/09/amerika_serikat_hargai_teroris_dulmatin_us_10_juta/ diakses 10/03/2010
2 http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47134 diakses 10/03/2010
3 http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/15275160/teroris.mulai.incar.objek.milik.pemerintah
diakses 10/03/2010
4 http://www.detiknews.com/read/2010/03/12/091909/1316790/10/obama-anggap-kunjungan-ke-indonesia-sangat-penting
diakses 10/03/2010
5 John O Brennan (Assistant to The President for Homeland Security and Counterterrorism). A New Approach for Safeguarding Americans. Center for Strategic and International Studies (CSIS). Transcript by Federal News Service Washington DC, August 6th, 2009
6 Lihat US National Security Strategy
7 Lihat White Paper Australia, Contest 2 dan berbagai strategi keamanan negara Eropa
8 David E Kaplan. Hearts, Minds, and Dollars In an Unseen Front in the War on Terrorism, America is Spending Millions...To Change the Very Face of Islam. USNews. 2005
http://www.usnews.com/usnews/news/articles/050425/25roots.htm
9,10 Peter Chalk et. al. The Evolving Terrorist Threat to South East Asia A Net Assessment. RAND National Defense Research Institute and Centre for International Security Studies (CISS). 2009
11 Michael Vatikiotis. Southeast Asia’s Internal Conflicts. Regional Mediation Tools in Regional Security Outlook 2009-2010. Council for Security Cooperation in The Asia Pasific (CSCAP). 2009

BARAT MESTINYA BELAJAR DARI ISLAM UNTUK MENYIKAPI KEBERAGAMAN

Nibras Hanif

Adalah sangat ironis ketika Sarkozy, penguasa Perancis saat ini melarang penggunaan Burqa di tempat umum setelah sejak 1994 melarang penggunaan headscarf di sekolah negeri, sementara di Indonesia sekelompok orang menamakan diri Tim Advokasi Kebebasan Beragama melakukan pengajuan Judicial Review terhadap Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Saat Perancis -bagian dari mercusuar kebebasan Barat- telah meletakkan prinsip-prinsipnya di bawah telapak kakinya sendiri, di negeri muslim terbesar ini, segelintir pemuja liberalisme Barat terus menabuh tong kosong berbunyi perlindungan kebebasan beragama.
Seandainya kejujuran menjadi sikap inti Barat dan orang-orang yang silau terhadapnya, tentu amat mudah memahami bagaimana perbedaan cara peradaban Barat dan peradaban Islam menangani keragaman. Juga sangat mudah mengakui mana diantara keduanya yang paling produktif dan solutif di dalam membangun hubungan manusia.

Selama lebih dari 13 abad peradaban Islam melalui sistem politiknya (khilafah) telah menaungi wilayah paling luas dengan suku, bahasa, warna kulit penduduk paling beragam. Melalui dakwah dan jihad, integrasi dilakukan oleh Islam secara unik dimana perkembangan corak lokal dibingkai dalam sistem dan nilai-nilai Islam. Islam tidak mengenal apa yang disebut sebagai cawan peleburan (melting pot) dan tidak pernah menunjukkan kebijakan rasialis ataupun ethnic cleansing sebagaimana yang menghiasi sejarah Barat hingga era globalisasi.

Islam meletakkan bentuk keragaman bahasa, etnik/suku dan ras sebagai bentuk keragaman yang given dan tidak pernah dipersoalkan. Terhadap keragaman ini Islam tidak pernah mengistimewakan atau merendahkan satupun diantaranya. Allah SWT pencipta manusia berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat:13).

Rasulullah bersabda "Kalian semua adalah anak-anak Adam, dan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Hendaklah suatu kaum berhenti membanggakan nenek moyang mereka, atau ia menjadi lebih hina di sisi Allah daripada kotoran keledai".

Saat masyarakat Barat di abad 21 ini masih mengalami euphoria dengan naiknya Obama yang berkulit hitam sebagai presiden AS, 14 abad lalu, Islam telah mendeklarasikan penghapusan rasialisme dengan tindakan maupun sabda Nabi yang mulia

«اِسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنْ اْستُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ مَا أَقَامَ فِيْكُمْ كِتَابَ اللَّهِ»
"Dengar dan taatilah oleh kalian meski yang dijadikan pemimpin kalian adalah seorang budak Habsyi, yang kepalanya seperti kismis, selama menegakkan Kitabullah (al-Quran) di tengah-tengah kalian" (HR al-Bukhari).

Bila terhadap keragaman bahasa, warna kulit, suku/etnik, ras manusia adalah persoalan yang sudah taken for granted, sebaliknya dalam memandang keragaman sikap dan perbuatan, Islam bertindak sebaliknya. Islam justru diturunkan sebagai life guidance untuk menata perilaku manusia dalam segala lingkupnya baik skala individual, komunal maupun dalam bernegara.
Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupamu dan hartamu, tetapi akan memperhatikan hati dan perbuatanmu" (HR Muslim dan Ibnu Majah).

Karena perbuatan (amal) ditentukan oleh pemikiran yang didasari oleh pandangan hidup (worldview) maka Islam menanamkan terlebih dahulu pandangan hidup Islam lalu menjadikannya standard bagi segala pemikiran yang tumbuh dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Dalam hal ini konsepsi Islam memiliki ukuran tersendiri apa yang disebut sebagai nilai-nilai kebaikan (khair) dan keburukan (syarr), perbuatan yang layak dinilai terpuji (hasan/good) dan tercela (qabih/evil) yang bersumber hanya pada petunjuk Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216).

Nilai-nilai ini sejalan dengan penerapan hukumnya yang memastikan keadilan dan kesetaraan bagi siapapun karena penetapan hukum hanya bersandar pada Allah SWT, sang pencipta yang tidak punya kepentingan terhadap makhluk ciptaanNya sebagaimana firmanNya :

أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ
"Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah". (QS al-A’raf [7]: 54).

Allah SWT juga berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik" (QS Al-An’am [6]: 57).

Adapun keyakinan (faith) maka ia adalah bagian dari bentuk pemikiran yang kemudian terinternalisasi dan mewujudkan kepercayaan yang diyakini. Sikap Islam terhadap keragaman keyakinan adalah mengedepankan pemikiran Islam sebagai standard kebenaran melalui dakwah Islam. Tidak sebagaimana demokrasi yang menyembunyikan dan menimbun potensi konflik pemikiran maupun perilaku di balik kata konsensus, Islam menawarkan debat secara jujur dan terbuka tetapi terbatas pada pemikiran. Allah SWT memandu penyampaian petunjukNya, dengan firmanNya :
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". (Qs An Nahl :125)

Dengan memberi ruang clash of paradigm tapi mencegahnya dari perbenturan fisik, Islam membangun suasana keimanan masyarakatnya dengan basis kultur berpikir seraya melepaskan diri dari upaya pemaksaan keyakinan. Allah SWT berfirman :
لَآ إِكۡرَاهَ فِى ٱلدِّينِ‌ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَىِّ‌ۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا‌ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٥٦)

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (Qs. Al Baqarah : 256)

Katakanlah, "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku." (Qs Al Kafirun :1-6)

Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Barat. Secara sosio historis, apa yang kemudian disebut sebagai peradaban Barat lahir dari pertentangan manusia terhadap sumber nilai-nilai yakni apakah nilai-nilai itu seharusnya diambil dari pencipta ataukah dari para pemikir. Kongklusi peradaban Barat dengan sekulerismenya telah memastikan agama tidak menjadi ukuran bagi perbuatan manusia di dalam kehidupan publik. Sebaliknya basis rasional menjadi satu-satunya ukuran. Penilaian baik-buruk, terpuji dan tercela yang berbasis akal (reason) ini kemudian ditetapkan sebagai hukum (legalized) melalui kesepakatan (consensus). Padahal kesepakatan dengan social-contract hakekatnya tidak bisa mengartikulasikan seluruh keragaman, tetapi memilih satu pendapat mayoritas untuk menjadi satu keputusan. Tercapainya pendapat mayoritas menjadi pergulatan utama unsur-unsur keragaman di dalam masyarakat yang pada kenyataannya bukan hanya menjauhkan dari pencapaian keputusan terbaik tetapi juga memendam potensi konflik.

Barat mengklaim bahwa keragaman apapun baik bahasa, warna kulit, suku/etnik, dan pemikiran serta keyakinan diberi keleluasaan untuk tumbuh dan berkembang. Namun kenyataannya, nilai-nilai Barat tetap membatasi apa yang boleh dan apa yang tidak boleh tumbuh. Hari ini Barat dengan sekulerisme dan liberalismenya ditantang oleh belitan isu kohesi sosial dan integrasi nasional disamping kegagalan ekonomi kapitalistiknya. Meningkatnya jumlah dan kondisi sosial imigran, meningkatnya jumlah pemeluk Islam dan menguatnya seruan Islam ternyata ditanggapi sebagai bentuk ancaman. Sesuatu yang ditunjukkan dengan sangat jelas oleh Sarkozy yang menyebut Burqa sebagai “sign of subservience, a sign of debasement” of women (tanda penurunan nilai perempuan) juga sebuah bentuk “an invasion of salafism”.
Kenyataan diatas semakin membuktikan betapa absurdnya konsepsi Barat dalam menangani keberagaman. Apa yang dipropagandakan selama ini bahwa peradaban Barat dengan demokrasinya adalah satu-satunya peradaban yang mengakomodir segala nilai untuk hidup dan berkembang hanyalah tipu daya. Bagaimanapun karakter suatu peradaban pasti hanya membiarkan tumbuh apa-apa yang sesuai dengan gagasan dasarnya. Adapun peradaban Barat kegagalannya menangani keragaman adalah karena faktor inherent yang sangat mendasar yakni filosofi sekulerismenya yang lahir untuk sedapat mungkin menjauhkan agama dari kehidupan.

Demikianlah, jika cita-cita peradaban Barat dengan ketiga asasnya (sekulerisme, liberalism dan kapitalisme) telah gagal menangani keberagaman maka daripada mempersoalkan Islam, memandangnya sebagai ancaman tentu lebih logis untuk belajar darinya dengan membiarkan Islam tampil sebagai peradaban sempurna.

TERORISME DAN SMART POWER AS DI ASIA TENGGARA

Nibras Hanif

Dua bom tiba-tiba meledak di Jakarta ditengah tudingan keterlibatan asing atas dugaan kecurangan hasil pemilihan presiden tahun 2009. Beragam analisis berkembang namun beberapa pihak meminta peristiwa tersebut tidak dikaitkan dengan pilpres. Analisis yang masif memonopoli pemberitaan media menyatakan bahwa pelaku dan motif peristiwa peledakan bom di JW Marriot dan Ritz Carlton tidak berbeda dengan pengeboman yang terjadi sebelumnya yakni oleh kelompok Jama’ah Islamiyah. Segera respon dunia mengemuka. Pertemuan Menlu Asia di Pukhet Thailand yang diikuti AS mendorong lebih kuat kerjasama regional untuk melawan terorisme.1 Dr AC Manulang Pengamat Intelijen dan Militer, mantan Ka BAKIN menyatakan aksi terorisme adalah operasi intelijen dan fokus utama intelijen adalah kepentingan negara dan target yang harus dicapai dalam kerangka kepentingan negara, bukan kepentingan perseorangan. Masih menurut Manulang, saat ini Indonesia ada dalam grand strategy global Amerika Serikat (AS) yang mengusung neoliberalisme dan neokapitalisme sementara keduanya memiliki masalah dengan Islam yang kuat di Indonesia. Karenanya analisis seharusnya di tarik ke ranah tersebut.2

Menguatnya Kepentingan AS
Era baru pemerintahan AS di bawah kepemimpinan Obama menunjukkan menguatnya kepentingan AS di wilayah Asia Tenggara dan Indonesia khususnya. Kunjungan Menlu AS Hillary Clinton memilih Asia dan Indonesia sebagai tempat lawatan pertamanya merupakan salah satu buktinya.3
Secara geopolitik Asia Tenggara adalah jalur persimpangan (crossroad) antara konsentrasi industri, teknologi dan militer di Asia Timur laut dan sub benua India serta sumber minyak di Timur Tengah, Australia dan Pasifik Tenggara. Asia Tenggara juga memiliki proporsi tinggi dari perdagangan Jepang, Korea, Taiwan, Australia termasuk import minyak, transit dan jalur komunikasi laut di Asia Tenggara. Dari perspektif militer, jalur laut ini kritis bagi pergerakan angkatan bersenjata AS dari Pasifik Barat ke Samudera Hindia dan Teluk Persia. Adapun secara kultural, wilayah maritim Asia Tenggara adalah tempat berdiam bagi populasi muslim terbesar di dunia yang jumlahnya lebih dari 200 juta.
AS sangat berkepentingan dengan suksesnya eksperimen demokrasi di Indonesia yang merupakan negeri muslim terbesar. Kesuksesan eksperimen demokrasi di Indonesia diharapkan akan menghapuskan opini bahwa demokrasi tidak kompatibel dengan kultur politik di negeri-negeri muslim. Sebelumnya eksperimen demokrasi AS di Irak, Afganistan dan negeri-negeri muslim lainnya menemui kegagalan. AS memerlukan succes story baru yang memberinya peluang untuk tetap menanamkan pengaruh dan meraih kepentingan-kepentingannya. Tak heran meski pejuangnya maupun pengamat dalam negeri menyebut demokrasi Indonesia tak pernah keluar dari watak prosedural semata toh Menlu Hillary Clinton memuji Indonesia sebagai negeri muslim demokratis terbesar yang layak menjadi model percontohan.

AS berkepentingan menjadikan suara Islam Indonesia sebagai representasi suara Islam dunia, dan menshapingnya selaras kepentingannya. Ini tentu sulit dilakukan bila argumentasi perlawanan terhadap hegemoninya terus menerus digaungkan di negeri-negeri muslim. Karenanya track record AS juga dipenuhi oleh berbagai strategi kultural untuk mengatasinya semacam pendanaan pesantren-pesantren, perubahan kurikulum dan dukungan terhadap liberalisasi bahkan upaya rejuvenilisasi elit- elit penguasa.

Pendekatan Smart Power
Naiknya Obama memikul serta beban krisis ekonomi, anjloknya popularitas AS di mata sekutunya dan meluasnya penolakan dunia Islam. Laporan Connetta dalam Losing Heart and Mind : World Opinion and post-9/11 US Security Policy merangkum review berbagai jajak pendapat termasuk pandangan negatif 70 persen publik Indonesia terhadap AS. Conetta menutup analisanya dalam satu konklusi : the world against us. 4. Dalam keadaan semacam itulah AS berusaha menjalin hubungan lebih komprehensif dengan Indonesia. Dan seiring dengan penguatan kepentingan AS di Asia Tenggara, rezim Obama dipersiapkan dengan apa yang disebut sebagai Smart power. Smart power bukan bermakna kosongnya pendekatan militer. Strategi itu adalah sebagaimana yang dijelaskan Hillary “It is the full range of tools at our disposal, advocating a mix of diplomatic, economic, military, political legal and cultural strategies. 5 It means using all the levers of influence - diplomatic, economic, military, legal, political and cultural - to get what you want".6
Mengacu pada strategi pertahanan 4 tahunan AS yang digawangi Gates (menhan rezim Bush dan rezim Obama), sesungguhnya AS berada dalam kondisi a wartime sense of urgency 7. Adapun posisi Indonesia dalam strategi baru tersebut Hillary menegaskan dengan pernyataannya "building a comprehensive partnership with Indonesia is a critical step on behalf of the United States' commitment to smart power".8
Melalui smart power, jatuhnya perekonomian dan citra AS berusaha dipulihkan dengan pendekatan multilateral antara lain melalui ASEAN.9 Pendekatan multilateral dianggap efektif karena AS bisa menanam pengaruh secara signifikan tanpa harus tampak intervensif pada kebijakan tiap negara. Agenda-agenda politik yang diinisiasi AS diharapkan akan diimplementasikan dan mengikat melalui lembaga-lembaga multilateral. Efektifitas pilihan kebijakan AS juga diharapkan akan sempurna dengan pola bilateral yang dikelola secara dinamis terhadap negara sekutu maupun non sekutu AS. Efektifitas hasil inilah yang diharapkan AS sebagaimana target dalam reformasi strategi pertahanannya from focus on kinetics, to focus on effect; from static alliance to dynamic partnership. 10. Ini belum termasuk penguatan aktivitas-aktivitas di bawah permukaan semacam penguatan intelijen yang direformasi from emphasis on ship, guns, tanks and planes to focus on information, knowledge, and timely actionable intelligence. 11

Ke depan
Menguatnya opini terorisme seiring dengan politik regional AS di wilayah Asia Tenggara telah memberi sinyal bahwa kawasan ini akan segera menjadi panggung panas perpolitikan AS berikutnya. Bila di masa lalu Bush menyebut Asia Tenggara sebagai the second front dari peperangannya melawan terorisme, ke depan Asia Tenggara secara invisible bisa menjadi front baru bagi AS sebagaimana Pakistan, Afganistan, Iran dan negeri muslim lainnya. Upaya reinvigorasi multilateralisme oleh AS, penguatan kerjasama militer, masifnya latihan gabungan, bantuan kapabilitas yang mengintegrasikan negara-negara di ASEAN menunjukkan kecenderungan tersebut.
Sementara itu desain postur pertahanan sebuah negara sangat bergantung terhadap apa yang didefinisikan oleh negara tersebut sebagai ancaman. Tidak bisa dipungkiri bahwa gerakan Islam selama ini adalah kelompok yang kritis menyuarakan perlawanan terhadap hegemoni AS. Meletakkan gerakan Islam sebagai ancaman tunggal sebagaimana AS mendefinisikan musuhnya ibarat mengaktifkan radar untuk melacak satu umpan dan menonaktifkannya terhadap ancaman sesungguhnya yang lebih besar. Lebih jauh memilih menjadi sekutu dekat AS memungkinkan Indonesia justru menjadi radar dan objek penderita bagi kepentingan-kepentingan AS serta mengakhiri harapan untuk bisa keluar dari dominasinya.

Penting untuk dipahami bahwa terjadinya peristiwa-peristiwa fenomenal saat naiknya kepemimpinan baru adalah hal yang sangat krusial. Kepemimpinan baru ibarat cek kosong yang diperebutkan oleh berbagai keputusan dan kesepakatan yang akan menentukan nasib bangsa ke depan termasuk nasib pertahanannya. Bagi kita umat yang memperjuangkan independensi, hendaknya mencermati secara serius dan kritis terhadap berbagai strategi adidaya walau sedang berdiri diatas terpaan stigmatisasi dan propaganda.

Daftar bacaan :
1 ChannelNewsAsia, ASEAN ministers condemn Jakarta bombings, 18 July 2009, http://www.channelnewsasia.com/stories/afp_asiapacific/view/443276/1/.ht...
2 http://www.seputar-indonesia.com/edisicetak/content/view/255665/
3,8 Al Arabiya As Obama urges better US ties with the Muslim world Clinton visits Indonesia in multi-leg tour of Asia
4 Carl Conetta, Losing Hearts and Minds: World Public Opinion and post-9/11 US Security Policy, Project on Defense Alternatives Briefing Memo #37. Cambridge, MA: Commonwealth Institute, 14 September 2006. http://www.comw.org/pda/0609bm37.html
5 http://www.telegraph.co.uk/news/worldnews/northamerica/usa/barackobama/4229917/Hillary-Clinton-promises-new-foreign-policy-approach.html
6 http://www.timesonline.co.uk/tol/news/politics/article5522680.ece
7, 10, 11 Quadrennial Defense Review Report 2006
9 http://www.australia.to/index.php?option=com_content&view=article&id=12671:politics-clinton-heralds-deeper-us-ties-with-south-east-asia&catid=71:world-news&Itemid=201

MENCEGAH POLITISASI UMAT

Nibras Hanif

Isu politisasi agama terus bergulir menjelang pemilihan presiden 2009 mulai dari isu jilbab para istri pasangan JK-Wiranto, hingga persoalan keyakinan istri cawapres Boediono. Mengemukanya isu-isu ini di satu sisi menunjukkan pentingnya keberadaan Islam dan umat Islam namun disisi lain juga menunjukkan ironisme bahwa hingga hari ini Islam dan umatnya masih berposisi menjadi korban politisasi. Umat masih menjadi massa tanpa artikulasi bagi para pasangan calon yang tak malu mengeksploitasi aspek religiusitasnya meski gagal menjamin keamanan bagi Islam dan umatnya. Umat masih menjadi kerumunan tanpa daya tawar dalam pengajian yang kian marak digelar dan disambangi para calon. Islam dan umatnya juga hanya menjadi stempel dalam spanduk yang bertebaran menampilkan gambar betapa dekatnya calon dengan umat.
Sebelumnya, dalam pemilu legislatif (pileg), suara umat terus berusaha digalang lewat berbagai cara termasuk fatwa haramnya golput. Faktanya pasca pileg, suara itu menguap entah kemana. Lembaga perwakilan rakyat justru dipenuhi wajah-wajah yang tak dikenal umat, alih-alih meyampaikan aspirasi mereka. Partai-partai Islam terpuruk dan pasca pileg justru memilih berkoalisi dengan partai-partai sekuler, meninggalkan umat Islam dalam tanda tanya besar, dimana posisi mereka sesungguhnya?

Konsolidasi Sekulerisme
Konstelasi politik tanah air hari ini ditandai perguliran ideologi-ideologi besar yang mempertaruhkan posisi Islam dan umatnya. Degradasi sistem politik dan krisis ekonomi global yang melanda dunia berimbas pada pilihan paradigma. Apakah Indonesia akan melanjutkan arah kapitalistik neoliberal, mengadopsi sosialisme atau menawarkan tatanan alternatif (Islam). Perdebatan paradigmatik ini ramai mewarnai mimbar akademis hingga diskusi jalanan. Istilah kapitalisme, neoliberalisme, sosialisme-demokrasi (sosdem), syariah pun tidak lagi asing di telinga. Di satu sisi kesadaran umat bahwa bangsa ini berada pada arah yang salah telah mulai tumbuh, di sisi lain diskursus perdebatan itu bagi umat masih dalam situasi keremangan. Umat masih samar melihat bahwa tawaran konsolidasi demokrasi hakekatnya adalah konsolidasi sekulerisme, karena tak ada ruang bagi politik Islam untuk mengartikulasikan dirinya. Debat capres dan cawapres terkait pendalaman konsep hubungan agama dan negara yang melihat implementasi hukum agama (Islam) sebagai sumber masalah adalah buktinya. Upaya mempersoalkan perda-perda yang dituduh berdasarkan agama (syari’at) padahal penerapan perda itu adalah hasil aspirasi umat (di daerah) tak lain adalah cerminan pembajakan aspirasi umat Islam. Adalah fakta berulang bahwa suara umat hendak diraih dengan simbol-simbol Islam pada momen pemilu tetapi aspirasi mereka dikebiri dari realitas politik, ketika sistem dijalankan. Inilah wujud alienasi politik Islam dari ranah kehidupan yang akan tetap menjebak umat dalam pusaran politisasi.

Kesadaran Politik Islam
Bila kita mengamati ke dalam (inward looking) mengapa umat Islam terus menerus menjadi objek politisasi, maka jawabannya adalah karena lemahnya kesadaran politik Islam pada diri mereka. Bila politik didefinisikan sebagai pemeliharaan urusan manusia sebagaimana yang bisa dipahami dari sabda Baginda Nabi, maka kesadaran politik Islam bermakna kesadaran bahwa segala persoalan kehidupan pada dasarnya diatur dan dijawab oleh sudut pandang Islam. Dalam Islam, sudut pandang politik (political angle) yang digunakan tentu bukanlah keinginan dan kepentingan pribadi melainkan berasal dari Aqidah dan hukum-hukum syara’ sebagai lensanya. Kesadaran untuk terjun dalam mengurusi masalah bangsa dan keumatan yang berpijak pada sudut pandang Islam akan menjadikan umat mampu bersikap secara mandiri dan islami. Kesadaran politik itu menjadi semacam kompas bagi setiap muslim membaca fakta dan peristiwa politik sekaligus menetapkan keputusan-keputusan politik untuk mengurusi masalah umat. Bila sudut pandang dan pisau bedah berbagai persoalan bangsa dilandaskan pada Islam (Al qur’an dan As Sunnah) tentunya akan lahir tindakan politik yang benar, cerdas, adil, menyelesaikan masalah dan terhindar dari perilaku oportunistik sebagaimana gaya politisi sekuler dewasa ini. Kesadaran politik Islam juga akan mencegah umat menjadi korban distorsi opini, money politic, pembohongan publik bahkan berbagai politik adu domba yang menghancurkan kesatuan umat. Umat yang sadar politik Islam akan mudah memahami bahwa makna neoliberalisme, misalnya- adalah menerapkan sistem neoliberal, kendati para pelakunya adalah orang yang relijius dan santun. Umat tidak akan tertipu oleh simbol-simbol relijiusitas untuk menutupi paradigma dan pilihan kebijakan politik yang justru bertentangan dengan Islam. Energi umat juga tidak habis semata untuk menyerang personal tokoh/politisi yang akhirnya memicu perpecahan melainkan dicurahkan untuk menggagas sistem penggantinya yang akan mensejahterakan semua rakyat dan sesuai aspirasi umat. Hal itu tentu tak akan terwujud kecuali umat paham sudut pandang Islam tentang tugas negara dan bagaimana tugas itu bisa terlaksana serta peran warga negara di dalamnya. Bahwa ekonomi Islam non riba adalah tata ekonomi yang akan berpihak pengusaha sekaligus rakyat -misalnya, atau bahwa politik anggaran dalam Islam bebas dari jebakan utang, bahwa kepemilikan SDA hakikatnya adalah milik rakyat. Umat yang sadar politik Islam juga tidak akan menjadi individu apatis yang abai dan tergadai. Mereka akan berdiri di garda terdepan pembelaan kedaulatan negerinya dari penjajahan asing baik yang tampak maupun tidak tampak. Pendek kata umat yang sadar politik Islam akan menjadi warga negara yang mampu mengoreksi sekaligus memberi jalan keluar bagi negaranya. Mereka memiliki kepekaan politisi dan negarawan sejati yang tercegah dari siapapun untuk mempolitisasi.

Peran Partai Politik Islam
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan kesadaran politik Islam tersebut ? Jawabnya ada pada tanggung jawab partai politik Islam. Parpol-parpol Islam mestinya melakukan pencerdasan politik dengan Islam pada umat selain menjadi artikulator dan agregator. Parpol-parpol Islam harus menjauhkan diri dari praktik politisasi yang hanya akan menancapkan noda hitam dalam benak umat dan ketidakpercayaan bahwa politik Islam yang agung mampu diterapkan. Tugas parpol Islam adalah menginternalisasikan Islam dalam arena politik dan bukan justru mencederai Islam untuk meraih tujuan-tujuan sesaat. Bila parpol Islam konsisten dalam pencerdasan politik akan lahir hasil nyata yaitu meningkatnya taraf berfikir umat, modal utama melakukan perubahan. Kerja keras yang terus menerus dan tak kenal lelah akan melahirkan umat yang sadar politik Islam. Umat yang memahami bagaimana urusannya harus dipelihara dan mengajak manusia mengerjakan yang ma’ruf mencegah dari yang munkar mewujudkan kerahmatan Islam bagi semesta. Insya Allah [N.Hanif]

SUPERMAN BARU DAN WARISAN AS



Nibras Hanif

Sungguh skenario American dream yang nyaris tanpa cela, menyimak kemenangan Obama. Hingga hari ini ini media tanah air beberapa masih dihiasi puji dan harap bagi kepemimpinan baru Amerika Serikat (AS). Bahkan pelantikan malam ini dirayakan oleh beberapa kalangan di Indonesia dengan suka cita dan dansa-dansa.
Right man on the right time".Adalah Obama muda, cerdas, berkulit setengah hitam, anggota senat Negara Bagian Illinois yang baru dipilih dua tahun lalu, sosok superman yang hadir ketika citra AS di titik nadir.Slogan perubahan “Change, we can believe it” menjadi kunci. Slogan yang merangkum pahitnya kekhawatiran bangsa adidaya, untuk meraih kesempatan memimpin dunia pada kali berikutnya. Imperialisme di Afganistan dan Irak telah menuai kebencian dan perlawanan. Keserakahan kapitalistik akhirnya berhadapan dengan fakta 28 juta warga AS yang menggantungkan hidup pada kupon bantuan (food stamps) akibat krisis finansial. Maka kampanye ‘perubahan’ menjadi daya dongkrak brilian bagi Obama dan pemerintahan baru AS.

Harapan perubahan dialamatkan pada Obama setidaknya dalam tiga hal. Pertama, Obama diharapkan sanggup menata ekonomi (sosial) AS yang selama ini terperosok kebijakan kapitalistik spekulatif, melalui pendekatan baru–yang lebih pro rakyat. Kedua, Obama diprediksi berpotensi menggalang solidaritas global untuk mengakhiri ketimpangan tata ekonomi dunia dewasa ini. Ketiga, bagi dunia Islam, Obama diharapkan mengakhiri imperialisme AS. Citra pendekatan persuasif yang diusung Obama dipercaya akan mampu mewujudkan dunia yang lebih damai dan berkeadilan.Dunia menginginkan AS berubah bersama naiknya Obama seraya bertanya-tanya, mungkinkah ?

Warisan sistemik
Semua harapan di atas harus berhadapan dengan kenyataan hari ini, saat Superman baru AS menerima warisan sistemik yang tak mudah ditata ulang. Obama mewarisi ekonomi dengan utang nasional sejumlah 10 trilyun dolar AS, utang konsumen mencapai 11.4 trilyun dolar AS dan utang-utang perusahaan sebesar 18.4 trilyun dolar AS. Defisit perdagangan mencapai 1 trilyun dolar AS. Angka pengangguran mencapai 6.5 persen, merupakan yang terbesar sejak tahun 1994 (BBC, 07/11/08). Semua itu adalah ganjalan besar Obama untuk merombak ketimpangan ekonomi melalui instrumen pemberlakukan pajak progresif sebagaimana yang direncanakan. Tanpa peningkatan pengeluaran konsumen, pemerintah harus menghabiskan trilyunan dolar untuk memulai roda perekonomian.

Di kancah internasional, kepemimpinan AS juga telah mewariskan kegagalan sistemik berupa tata politik ekonomi dunia yang sangat plutokratik. Sistem moneter dunia dirancang bersifat manipulatif unilateral terhadap mata uang cadangan serta sewenang-wenang mengatur nilai dan fungsi moneter emas. Lembaga keuangan internasional juga tak lepas dari ekspresi dominasi AS. Lembaga tersebut menjadikan jumlah dolar yang beredar semakin besar dan menguasai hukum sehingga seluruh dunia mengikuti gerak iramanya. Kegoncangan perekonomian internasional dan kehancuran politik di negara-negara dunia ketiga telah menjadi pertaruhan model ini.

Bisakah berharap pada Obama untuk mengubah kepemimpinan kapitalistik AS yang telah menciptakan ruang kekuasaan yang mapan bagi entitas bisnis raksasa bernama perusahaan multinasional. Entitas yang kini mengatur seberapa banyak air, gas, listrik, minyak dan barang strategis lainnya yang tersedia untuk rakyat. Negara bahkan dapat disandera menjadi pasukan penjaganya. Besarnya kekuatan entitas ini pernah ditunjukkan oleh Anderson dan Cavanagh (2000) yang menyebutkan bahwa dari seratus kesatuan ekonomi terbesar di dunia, 51 diantaranya adalah korporasi (dikaji menurut angka perdagangan) dan 49 sisanya adalah negara (dinilai dari GDP negara). Tingkat perdagangan 200 korporasi terbesar bergerak lebih cepat dibandingkan aktivitas ekonomi global, sedangkan angka penjualan 200 korporasi tersebut 18 kali lebih besar dibandingkan pendapatan tahunan 1.2 milyar penduduk yang hidup dalam lingkaran kemiskinan. Sebagian besar raksasa bisnis itu berpusat di AS.

Di bawah tata politik ekonomi dunia yang demikian, 3 miliar manusia hidup dengan penghasilan di bawah 2 dolar per hari, 1.3 miliar orang tidak memiliki akses air bersih, 3 miliar orang tidak memiliki akses sanitasi dan 2 miliar orang tidak memiliki akses listrik. Dunia terancam tsunami krisis pangan yang dituding akibat peningkatan populasi dunia ketiga. Kenyataannya negara-negara industri Barat di bawah AS mengkonsumsi 81 persen barang dunia, meski sebagian besar sumber daya alam dan mineral untuk produksi barang dunia itu mayoritas dihasilkan oleh negara-negara dunia ketiga yang hanya mengkonsumsi 3.1 persen. Barat mengkonsumsi 50 persen minyak dan memproduksi kurang dari seperempatnya.

Replikasi Neoliberalisme
Bedjaoui (1985) dalam “Towards A New International Economic Order" menyatakan bahwa warisan hukum internasional selama ini tidak pernah bergeser dari monopoli negara-negara besar. Hukum internasional terus menerus menyelundupkan ciri khas dominasi dalam kaidah yang mengatur hubungan antara negara maju dan negara berkembang. Berbagai upaya melepaskan diri dari jeratan tersebut menemui kelembaman (inersia) karena kolonialisme terlanjur meresap ke dalam struktur. Struktur terhegemoni ini tercipta melalui penjajahan dan berlanjut dengan adopsi model pembangunan pasca kemerdekaan. Selama konsep pembangunan mengambil pola serta standar normatif dan orientasi nilai budaya Barat (baca AS) sebagai parameter “kemajuan” tunggal maka proses yang terjadi tak lebih dari modernisasi ala westernisasi (western developmentalism) (Peet and Hartwick, 1999). Pembangunan telah mengambil pola replikasi dan imitasi (peniruan) secara totalitas terhadap gaya-hidup, tata-kelembagaan ekonomi dan sosial, tata-pemerintahan, sistem ketatanegaraan dan hukum, serta mekanisme produksi-distribusi ekonomi ala Barat (AS). Sebagai hasilnya adalah ketergantungan sekaligus keterjebakan kontrol oleh negara kuat (baca AS) dan rontoknya identitas dan kemampuan bangsa lemah. Kontrol itu termasuk dalam ruang mindset yang sedemikian rupa terkungkung dalam alam penjajahan sehingga tak menghasilkan sedikitpun keberanian untuk berpikir diluar kotak.

Inilah yang agaknya menjadi alasan mengapa presiden SBY menyatakan perubahan tak bisa dilakukan tanpa mengikutsertakan AS. Mengapa neoliberalisme terus bercokol selama lebih dari 40 tahun di tanah air dan armada yang dimotori intelektual muda lulusan AS sangat leluasa mengabdikan diri pada kepentingan negara almamater mereka. Negara Obama. Semua karena struktur terhegemoni yang diwariskan dan dijaga hingga melintasi generasi.

Hingga kini, korporasi asing menguasai 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas Indonesia dengan Chevron Pacific dan Conoco Phillips –keduanya milik AS- menduduki tempat teratas produsen migas Indonesia. Terungkapnya bukti keterlibatan lembaga donor bilateral AS (USAID) dalam merancang UU Minyak dan Gas Nomor 22/2001 semakin menegaskan bahwa cengkeraman AS dilakukan dengan berbagai cara. USAID bersama lembaga keuangan Asia Development Bank (ADB) dan Bank Dunia juga terungkap telah mendukung pemerintah menghapus subsidi BBM, membangun pondasi menuju liberalisasi migas Indonesia. Ini belum termasuk fakta keterlibatan mereka dalam demokratisasi politik dan kepemimpinan yang semakin mengekalkan kompradorisasi serta dependensi terhadap kepentingan AS dan sekutunya.Lalu dengan cara apa, bersama Obama, semua itu bisa diakhiri ?

Dunia Islam
Di balik harapan banyak pihak, Obama memiliki rencana tersendiri dalam politik luar negerinya. Pendekatan multilateralisme tidak pernah mengubah kepemimpinan AS dari poros kepentingan negara dan visi ideologinya.Sikap Obama terhadap Israel sangat jelas yakni mendukung pemerintah garis keras Israel. Obama telah membuat berbagai pernyataan yang hampir tak bisa dibedakan dengan pemerintahan Bush yang menegaskan komitmennya untuk memperkuat hubungan AS-Israel termasuk berupa bantuan ekonomi dan militer. Obama akan melanjutkan dukungan AS untuk solusi dua negara bahkan memastikan bahwa Yerusalem menjadi ibukota Israel (Haaretz 05/06/08). Publik menunggu apa yang diucapkan Obama saat tragedi Gaza berlangsung sedemikian memilukan. Tapi inilah yang dikeluarkan juru bicara keamanan nasional beberapa hari kemudian "The president-elect is closely monitoring global events, including the situation in Gaza. There is one president at a time, and we intend to respect that" (Chicago Tribune, 03/01/2009). Bandingkan dengan pernyataan kerasnya pada krisis Mumbai (Change.gov 26/11/2008) "President-elect Obama strongly condemns today's terrorist attacks in Mumbai, and his thoughts and prayers are with the victims, their families, and the people of India. These coordinated attacks on innocent civilians demonstrate the grave and urgent threat of terrorism. The United States must continue to strengthen our partnerships with India and nations around the world to root out and destroy terrorist networks. We stand with the people of India, whose democracy will prove far more resilient than the hateful ideology that led to these attacks".

Terkait Irak, Obama memang menentang perang Irak sejak awal dan mendukung penarikan pasukan dari Irak dalam waktu 16 bulan. Namun semata untuk fokus pada pertempuran di Afganistan (dan Pakistan). Obama menyatakan Afganistanlah medan pertempuran yang sesungguhnya, karenanya berulangkali Obama berjanji di hadapan publik untuk memperluas intervensi militer di Afganistan, meningkatkan jumlah pasukan AS, mengembangkan operasi dan membuat serangan lintas batas yang sistemik.Sebaliknya, tanpa deklarasi, Pakistan telah menjadi arena pertempuran baru AS. Sejak Agustus 2008 tak kurang dari 20 kali serangan udara dilakukan AS yang mengorbankan rakyat sipil. Pakistan dianggap merupakan rintangan utama untuk berhasil di Afganistan karena membiarkan para mujahid secara bebas menginfiltrasi masuk melalui perbatasan yang menghubungkan dua negara tersebut (Newsweek,11/08/08). Obama juga telah mendeklarasikan di hadapan publik bahwa rezimnya akan memperluas ‘war against terrorism' melalui serangan darat dan udara secara sistematik dalam skala besar terhadap Pakistan.

Pernyataan bahwa AS akan menjadi negara baru yang akan berteman dengan semua pihak dengan garis bawah kesiapan bekerjasama dengan dunia muslim semestinya tidak ditelan bulat-bulat sebaliknya dimaknai sebagai strategi politik baru yang membutuhkan kecerdasan politik lebih dalam mengingat Obama memasang wajah yang tak bersahabat dengan dunia muslim semacam Rahm Emanuel atau bahkan lebih jelas lagi memasang tangan menteri pertahanan Bush yaitu Robert Gates. Kenyataan yang justru menegaskan bahwa Obama sedang melanjutkan apa yang telah dirancang Bush sebelumnya dan mungkin menambahnya dengan berbagai kreasi baru.

Pelajaran Berharga

Bagi umat Islam, harapan perubahan memang tak pernah boleh pupus. Warisan kepemimpinan AS telah memberi pelajaran yang pahit sekaligus berharga. Pelajaran yang mestinya disadari pemimpin negeri ini bahwa perubahan tak akan diraih dengan menadahkan tangan atau menyandarkan masa depan pada pihak lain. Sebaliknya harapan perubahan semestinya ditanam dalam iman, kesadaran dan kerja keras membangkitkan negeri dengan tangan kaum muslim sendiri sebagaimana diwasiatkan Muhammad SAW.Hari ini AS merayakan satu kemenangannya dalam pergulatan internal ras dan etnik dengan naiknya Obama, padahal dunia Islam sesungguhnya telah mengakhirinya sejak 1300 tahun lalu dengan pernyataan Rasulullah SAW "Mendengar dan taatlah kalian walaupun yang memimpin kalian adalah bekas budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis, selama dia menegakkan Kitabullah diantara kalian". Sebaliknya, berhadapan dengan penjajah dunia, dunia Islam justru harus siap menghadapinya dengan kekuatan politik yang sepadan. Sudah saatnya dunia Islam meneguhkan visi untuk melepaskan diri dari penjajahan dan menentukan masa depan mereka sendiri dengan membangun persatuan umat. Satu-satunya jalan untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik bahkan untuk berperan nyata, menyelamatkan bumi dari kerusakan dan menebarkan rahmat dalam kancah tata politik ekonomi dunia, sebagaimana Islam telah mengajarkannya ■