Thursday, April 1, 2010

MENCEGAH POLITISASI UMAT

Nibras Hanif

Isu politisasi agama terus bergulir menjelang pemilihan presiden 2009 mulai dari isu jilbab para istri pasangan JK-Wiranto, hingga persoalan keyakinan istri cawapres Boediono. Mengemukanya isu-isu ini di satu sisi menunjukkan pentingnya keberadaan Islam dan umat Islam namun disisi lain juga menunjukkan ironisme bahwa hingga hari ini Islam dan umatnya masih berposisi menjadi korban politisasi. Umat masih menjadi massa tanpa artikulasi bagi para pasangan calon yang tak malu mengeksploitasi aspek religiusitasnya meski gagal menjamin keamanan bagi Islam dan umatnya. Umat masih menjadi kerumunan tanpa daya tawar dalam pengajian yang kian marak digelar dan disambangi para calon. Islam dan umatnya juga hanya menjadi stempel dalam spanduk yang bertebaran menampilkan gambar betapa dekatnya calon dengan umat.
Sebelumnya, dalam pemilu legislatif (pileg), suara umat terus berusaha digalang lewat berbagai cara termasuk fatwa haramnya golput. Faktanya pasca pileg, suara itu menguap entah kemana. Lembaga perwakilan rakyat justru dipenuhi wajah-wajah yang tak dikenal umat, alih-alih meyampaikan aspirasi mereka. Partai-partai Islam terpuruk dan pasca pileg justru memilih berkoalisi dengan partai-partai sekuler, meninggalkan umat Islam dalam tanda tanya besar, dimana posisi mereka sesungguhnya?

Konsolidasi Sekulerisme
Konstelasi politik tanah air hari ini ditandai perguliran ideologi-ideologi besar yang mempertaruhkan posisi Islam dan umatnya. Degradasi sistem politik dan krisis ekonomi global yang melanda dunia berimbas pada pilihan paradigma. Apakah Indonesia akan melanjutkan arah kapitalistik neoliberal, mengadopsi sosialisme atau menawarkan tatanan alternatif (Islam). Perdebatan paradigmatik ini ramai mewarnai mimbar akademis hingga diskusi jalanan. Istilah kapitalisme, neoliberalisme, sosialisme-demokrasi (sosdem), syariah pun tidak lagi asing di telinga. Di satu sisi kesadaran umat bahwa bangsa ini berada pada arah yang salah telah mulai tumbuh, di sisi lain diskursus perdebatan itu bagi umat masih dalam situasi keremangan. Umat masih samar melihat bahwa tawaran konsolidasi demokrasi hakekatnya adalah konsolidasi sekulerisme, karena tak ada ruang bagi politik Islam untuk mengartikulasikan dirinya. Debat capres dan cawapres terkait pendalaman konsep hubungan agama dan negara yang melihat implementasi hukum agama (Islam) sebagai sumber masalah adalah buktinya. Upaya mempersoalkan perda-perda yang dituduh berdasarkan agama (syari’at) padahal penerapan perda itu adalah hasil aspirasi umat (di daerah) tak lain adalah cerminan pembajakan aspirasi umat Islam. Adalah fakta berulang bahwa suara umat hendak diraih dengan simbol-simbol Islam pada momen pemilu tetapi aspirasi mereka dikebiri dari realitas politik, ketika sistem dijalankan. Inilah wujud alienasi politik Islam dari ranah kehidupan yang akan tetap menjebak umat dalam pusaran politisasi.

Kesadaran Politik Islam
Bila kita mengamati ke dalam (inward looking) mengapa umat Islam terus menerus menjadi objek politisasi, maka jawabannya adalah karena lemahnya kesadaran politik Islam pada diri mereka. Bila politik didefinisikan sebagai pemeliharaan urusan manusia sebagaimana yang bisa dipahami dari sabda Baginda Nabi, maka kesadaran politik Islam bermakna kesadaran bahwa segala persoalan kehidupan pada dasarnya diatur dan dijawab oleh sudut pandang Islam. Dalam Islam, sudut pandang politik (political angle) yang digunakan tentu bukanlah keinginan dan kepentingan pribadi melainkan berasal dari Aqidah dan hukum-hukum syara’ sebagai lensanya. Kesadaran untuk terjun dalam mengurusi masalah bangsa dan keumatan yang berpijak pada sudut pandang Islam akan menjadikan umat mampu bersikap secara mandiri dan islami. Kesadaran politik itu menjadi semacam kompas bagi setiap muslim membaca fakta dan peristiwa politik sekaligus menetapkan keputusan-keputusan politik untuk mengurusi masalah umat. Bila sudut pandang dan pisau bedah berbagai persoalan bangsa dilandaskan pada Islam (Al qur’an dan As Sunnah) tentunya akan lahir tindakan politik yang benar, cerdas, adil, menyelesaikan masalah dan terhindar dari perilaku oportunistik sebagaimana gaya politisi sekuler dewasa ini. Kesadaran politik Islam juga akan mencegah umat menjadi korban distorsi opini, money politic, pembohongan publik bahkan berbagai politik adu domba yang menghancurkan kesatuan umat. Umat yang sadar politik Islam akan mudah memahami bahwa makna neoliberalisme, misalnya- adalah menerapkan sistem neoliberal, kendati para pelakunya adalah orang yang relijius dan santun. Umat tidak akan tertipu oleh simbol-simbol relijiusitas untuk menutupi paradigma dan pilihan kebijakan politik yang justru bertentangan dengan Islam. Energi umat juga tidak habis semata untuk menyerang personal tokoh/politisi yang akhirnya memicu perpecahan melainkan dicurahkan untuk menggagas sistem penggantinya yang akan mensejahterakan semua rakyat dan sesuai aspirasi umat. Hal itu tentu tak akan terwujud kecuali umat paham sudut pandang Islam tentang tugas negara dan bagaimana tugas itu bisa terlaksana serta peran warga negara di dalamnya. Bahwa ekonomi Islam non riba adalah tata ekonomi yang akan berpihak pengusaha sekaligus rakyat -misalnya, atau bahwa politik anggaran dalam Islam bebas dari jebakan utang, bahwa kepemilikan SDA hakikatnya adalah milik rakyat. Umat yang sadar politik Islam juga tidak akan menjadi individu apatis yang abai dan tergadai. Mereka akan berdiri di garda terdepan pembelaan kedaulatan negerinya dari penjajahan asing baik yang tampak maupun tidak tampak. Pendek kata umat yang sadar politik Islam akan menjadi warga negara yang mampu mengoreksi sekaligus memberi jalan keluar bagi negaranya. Mereka memiliki kepekaan politisi dan negarawan sejati yang tercegah dari siapapun untuk mempolitisasi.

Peran Partai Politik Islam
Pertanyaan berikutnya adalah bagaimana mewujudkan kesadaran politik Islam tersebut ? Jawabnya ada pada tanggung jawab partai politik Islam. Parpol-parpol Islam mestinya melakukan pencerdasan politik dengan Islam pada umat selain menjadi artikulator dan agregator. Parpol-parpol Islam harus menjauhkan diri dari praktik politisasi yang hanya akan menancapkan noda hitam dalam benak umat dan ketidakpercayaan bahwa politik Islam yang agung mampu diterapkan. Tugas parpol Islam adalah menginternalisasikan Islam dalam arena politik dan bukan justru mencederai Islam untuk meraih tujuan-tujuan sesaat. Bila parpol Islam konsisten dalam pencerdasan politik akan lahir hasil nyata yaitu meningkatnya taraf berfikir umat, modal utama melakukan perubahan. Kerja keras yang terus menerus dan tak kenal lelah akan melahirkan umat yang sadar politik Islam. Umat yang memahami bagaimana urusannya harus dipelihara dan mengajak manusia mengerjakan yang ma’ruf mencegah dari yang munkar mewujudkan kerahmatan Islam bagi semesta. Insya Allah [N.Hanif]

No comments:

Post a Comment