Thursday, April 1, 2010

BARAT MESTINYA BELAJAR DARI ISLAM UNTUK MENYIKAPI KEBERAGAMAN

Nibras Hanif

Adalah sangat ironis ketika Sarkozy, penguasa Perancis saat ini melarang penggunaan Burqa di tempat umum setelah sejak 1994 melarang penggunaan headscarf di sekolah negeri, sementara di Indonesia sekelompok orang menamakan diri Tim Advokasi Kebebasan Beragama melakukan pengajuan Judicial Review terhadap Undang-Undang nomor 1/PNPS/1965 tentang Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama.
Saat Perancis -bagian dari mercusuar kebebasan Barat- telah meletakkan prinsip-prinsipnya di bawah telapak kakinya sendiri, di negeri muslim terbesar ini, segelintir pemuja liberalisme Barat terus menabuh tong kosong berbunyi perlindungan kebebasan beragama.
Seandainya kejujuran menjadi sikap inti Barat dan orang-orang yang silau terhadapnya, tentu amat mudah memahami bagaimana perbedaan cara peradaban Barat dan peradaban Islam menangani keragaman. Juga sangat mudah mengakui mana diantara keduanya yang paling produktif dan solutif di dalam membangun hubungan manusia.

Selama lebih dari 13 abad peradaban Islam melalui sistem politiknya (khilafah) telah menaungi wilayah paling luas dengan suku, bahasa, warna kulit penduduk paling beragam. Melalui dakwah dan jihad, integrasi dilakukan oleh Islam secara unik dimana perkembangan corak lokal dibingkai dalam sistem dan nilai-nilai Islam. Islam tidak mengenal apa yang disebut sebagai cawan peleburan (melting pot) dan tidak pernah menunjukkan kebijakan rasialis ataupun ethnic cleansing sebagaimana yang menghiasi sejarah Barat hingga era globalisasi.

Islam meletakkan bentuk keragaman bahasa, etnik/suku dan ras sebagai bentuk keragaman yang given dan tidak pernah dipersoalkan. Terhadap keragaman ini Islam tidak pernah mengistimewakan atau merendahkan satupun diantaranya. Allah SWT pencipta manusia berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُم مِّن ذَكَرٍ وَأُنثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal. (QS. Al Hujurat:13).

Rasulullah bersabda "Kalian semua adalah anak-anak Adam, dan Adam itu diciptakan dari tanah liat. Hendaklah suatu kaum berhenti membanggakan nenek moyang mereka, atau ia menjadi lebih hina di sisi Allah daripada kotoran keledai".

Saat masyarakat Barat di abad 21 ini masih mengalami euphoria dengan naiknya Obama yang berkulit hitam sebagai presiden AS, 14 abad lalu, Islam telah mendeklarasikan penghapusan rasialisme dengan tindakan maupun sabda Nabi yang mulia

«اِسْمَعُوْا وَأَطِيْعُوْا وَإِنْ اْستُعْمِلَ عَلَيْكُمْ عَبْدٌ حَبَشِيٌّ كَأَنَّ رَأْسَهُ زَبِيْبَةٌ مَا أَقَامَ فِيْكُمْ كِتَابَ اللَّهِ»
"Dengar dan taatilah oleh kalian meski yang dijadikan pemimpin kalian adalah seorang budak Habsyi, yang kepalanya seperti kismis, selama menegakkan Kitabullah (al-Quran) di tengah-tengah kalian" (HR al-Bukhari).

Bila terhadap keragaman bahasa, warna kulit, suku/etnik, ras manusia adalah persoalan yang sudah taken for granted, sebaliknya dalam memandang keragaman sikap dan perbuatan, Islam bertindak sebaliknya. Islam justru diturunkan sebagai life guidance untuk menata perilaku manusia dalam segala lingkupnya baik skala individual, komunal maupun dalam bernegara.
Rasulullah saw bersabda, "Sesungguhnya Allah tidak melihat bentuk rupamu dan hartamu, tetapi akan memperhatikan hati dan perbuatanmu" (HR Muslim dan Ibnu Majah).

Karena perbuatan (amal) ditentukan oleh pemikiran yang didasari oleh pandangan hidup (worldview) maka Islam menanamkan terlebih dahulu pandangan hidup Islam lalu menjadikannya standard bagi segala pemikiran yang tumbuh dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Dalam hal ini konsepsi Islam memiliki ukuran tersendiri apa yang disebut sebagai nilai-nilai kebaikan (khair) dan keburukan (syarr), perbuatan yang layak dinilai terpuji (hasan/good) dan tercela (qabih/evil) yang bersumber hanya pada petunjuk Allah SWT.
Allah SWT berfirman :
وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
"Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu; Allah mengetahui, sedangkan kamu tidak mengetahui.” (Al-Baqarah: 216).

Nilai-nilai ini sejalan dengan penerapan hukumnya yang memastikan keadilan dan kesetaraan bagi siapapun karena penetapan hukum hanya bersandar pada Allah SWT, sang pencipta yang tidak punya kepentingan terhadap makhluk ciptaanNya sebagaimana firmanNya :

أَلا لَهُ الْخَلْقُ وَالأمْرُ
"Ingatlah menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah". (QS al-A’raf [7]: 54).

Allah SWT juga berfirman:
إِنِ الْحُكْمُ إِلا لِلَّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
"Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik" (QS Al-An’am [6]: 57).

Adapun keyakinan (faith) maka ia adalah bagian dari bentuk pemikiran yang kemudian terinternalisasi dan mewujudkan kepercayaan yang diyakini. Sikap Islam terhadap keragaman keyakinan adalah mengedepankan pemikiran Islam sebagai standard kebenaran melalui dakwah Islam. Tidak sebagaimana demokrasi yang menyembunyikan dan menimbun potensi konflik pemikiran maupun perilaku di balik kata konsensus, Islam menawarkan debat secara jujur dan terbuka tetapi terbatas pada pemikiran. Allah SWT memandu penyampaian petunjukNya, dengan firmanNya :
"Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk". (Qs An Nahl :125)

Dengan memberi ruang clash of paradigm tapi mencegahnya dari perbenturan fisik, Islam membangun suasana keimanan masyarakatnya dengan basis kultur berpikir seraya melepaskan diri dari upaya pemaksaan keyakinan. Allah SWT berfirman :
لَآ إِكۡرَاهَ فِى ٱلدِّينِ‌ۖ قَد تَّبَيَّنَ ٱلرُّشۡدُ مِنَ ٱلۡغَىِّ‌ۚ فَمَن يَكۡفُرۡ بِٱلطَّـٰغُوتِ وَيُؤۡمِنۢ بِٱللَّهِ فَقَدِ ٱسۡتَمۡسَكَ بِٱلۡعُرۡوَةِ ٱلۡوُثۡقَىٰ لَا ٱنفِصَامَ لَهَا‌ۗ وَٱللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٥٦)

“Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam); sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat. Karena itu barangsiapa yang ingkar kepada Thaghut[162] dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui". (Qs. Al Baqarah : 256)

Katakanlah, "Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku." (Qs Al Kafirun :1-6)

Hal ini berbeda dengan apa yang terjadi di Barat. Secara sosio historis, apa yang kemudian disebut sebagai peradaban Barat lahir dari pertentangan manusia terhadap sumber nilai-nilai yakni apakah nilai-nilai itu seharusnya diambil dari pencipta ataukah dari para pemikir. Kongklusi peradaban Barat dengan sekulerismenya telah memastikan agama tidak menjadi ukuran bagi perbuatan manusia di dalam kehidupan publik. Sebaliknya basis rasional menjadi satu-satunya ukuran. Penilaian baik-buruk, terpuji dan tercela yang berbasis akal (reason) ini kemudian ditetapkan sebagai hukum (legalized) melalui kesepakatan (consensus). Padahal kesepakatan dengan social-contract hakekatnya tidak bisa mengartikulasikan seluruh keragaman, tetapi memilih satu pendapat mayoritas untuk menjadi satu keputusan. Tercapainya pendapat mayoritas menjadi pergulatan utama unsur-unsur keragaman di dalam masyarakat yang pada kenyataannya bukan hanya menjauhkan dari pencapaian keputusan terbaik tetapi juga memendam potensi konflik.

Barat mengklaim bahwa keragaman apapun baik bahasa, warna kulit, suku/etnik, dan pemikiran serta keyakinan diberi keleluasaan untuk tumbuh dan berkembang. Namun kenyataannya, nilai-nilai Barat tetap membatasi apa yang boleh dan apa yang tidak boleh tumbuh. Hari ini Barat dengan sekulerisme dan liberalismenya ditantang oleh belitan isu kohesi sosial dan integrasi nasional disamping kegagalan ekonomi kapitalistiknya. Meningkatnya jumlah dan kondisi sosial imigran, meningkatnya jumlah pemeluk Islam dan menguatnya seruan Islam ternyata ditanggapi sebagai bentuk ancaman. Sesuatu yang ditunjukkan dengan sangat jelas oleh Sarkozy yang menyebut Burqa sebagai “sign of subservience, a sign of debasement” of women (tanda penurunan nilai perempuan) juga sebuah bentuk “an invasion of salafism”.
Kenyataan diatas semakin membuktikan betapa absurdnya konsepsi Barat dalam menangani keberagaman. Apa yang dipropagandakan selama ini bahwa peradaban Barat dengan demokrasinya adalah satu-satunya peradaban yang mengakomodir segala nilai untuk hidup dan berkembang hanyalah tipu daya. Bagaimanapun karakter suatu peradaban pasti hanya membiarkan tumbuh apa-apa yang sesuai dengan gagasan dasarnya. Adapun peradaban Barat kegagalannya menangani keragaman adalah karena faktor inherent yang sangat mendasar yakni filosofi sekulerismenya yang lahir untuk sedapat mungkin menjauhkan agama dari kehidupan.

Demikianlah, jika cita-cita peradaban Barat dengan ketiga asasnya (sekulerisme, liberalism dan kapitalisme) telah gagal menangani keberagaman maka daripada mempersoalkan Islam, memandangnya sebagai ancaman tentu lebih logis untuk belajar darinya dengan membiarkan Islam tampil sebagai peradaban sempurna.

No comments:

Post a Comment