
Nibras Hanif
Sungguh skenario American dream yang nyaris tanpa cela, menyimak kemenangan Obama. Hingga hari ini ini media tanah air beberapa masih dihiasi puji dan harap bagi kepemimpinan baru Amerika Serikat (AS). Bahkan pelantikan malam ini dirayakan oleh beberapa kalangan di Indonesia dengan suka cita dan dansa-dansa.
“Right man on the right time".Adalah Obama muda, cerdas, berkulit setengah hitam, anggota senat Negara Bagian Illinois yang baru dipilih dua tahun lalu, sosok superman yang hadir ketika citra AS di titik nadir.Slogan perubahan “Change, we can believe it” menjadi kunci. Slogan yang merangkum pahitnya kekhawatiran bangsa adidaya, untuk meraih kesempatan memimpin dunia pada kali berikutnya. Imperialisme di Afganistan dan Irak telah menuai kebencian dan perlawanan. Keserakahan kapitalistik akhirnya berhadapan dengan fakta 28 juta warga AS yang menggantungkan hidup pada kupon bantuan (food stamps) akibat krisis finansial. Maka kampanye ‘perubahan’ menjadi daya dongkrak brilian bagi Obama dan pemerintahan baru AS.
Harapan perubahan dialamatkan pada Obama setidaknya dalam tiga hal. Pertama, Obama diharapkan sanggup menata ekonomi (sosial) AS yang selama ini terperosok kebijakan kapitalistik spekulatif, melalui pendekatan baru–yang lebih pro rakyat. Kedua, Obama diprediksi berpotensi menggalang solidaritas global untuk mengakhiri ketimpangan tata ekonomi dunia dewasa ini. Ketiga, bagi dunia Islam, Obama diharapkan mengakhiri imperialisme AS. Citra pendekatan persuasif yang diusung Obama dipercaya akan mampu mewujudkan dunia yang lebih damai dan berkeadilan.Dunia menginginkan AS berubah bersama naiknya Obama seraya bertanya-tanya, mungkinkah ?
Warisan sistemik
Semua harapan di atas harus berhadapan dengan kenyataan hari ini, saat Superman baru AS menerima warisan sistemik yang tak mudah ditata ulang. Obama mewarisi ekonomi dengan utang nasional sejumlah 10 trilyun dolar AS, utang konsumen mencapai 11.4 trilyun dolar AS dan utang-utang perusahaan sebesar 18.4 trilyun dolar AS. Defisit perdagangan mencapai 1 trilyun dolar AS. Angka pengangguran mencapai 6.5 persen, merupakan yang terbesar sejak tahun 1994 (BBC, 07/11/08). Semua itu adalah ganjalan besar Obama untuk merombak ketimpangan ekonomi melalui instrumen pemberlakukan pajak progresif sebagaimana yang direncanakan. Tanpa peningkatan pengeluaran konsumen, pemerintah harus menghabiskan trilyunan dolar untuk memulai roda perekonomian.
Di kancah internasional, kepemimpinan AS juga telah mewariskan kegagalan sistemik berupa tata politik ekonomi dunia yang sangat plutokratik. Sistem moneter dunia dirancang bersifat manipulatif unilateral terhadap mata uang cadangan serta sewenang-wenang mengatur nilai dan fungsi moneter emas. Lembaga keuangan internasional juga tak lepas dari ekspresi dominasi AS. Lembaga tersebut menjadikan jumlah dolar yang beredar semakin besar dan menguasai hukum sehingga seluruh dunia mengikuti gerak iramanya. Kegoncangan perekonomian internasional dan kehancuran politik di negara-negara dunia ketiga telah menjadi pertaruhan model ini.
Bisakah berharap pada Obama untuk mengubah kepemimpinan kapitalistik AS yang telah menciptakan ruang kekuasaan yang mapan bagi entitas bisnis raksasa bernama perusahaan multinasional. Entitas yang kini mengatur seberapa banyak air, gas, listrik, minyak dan barang strategis lainnya yang tersedia untuk rakyat. Negara bahkan dapat disandera menjadi pasukan penjaganya. Besarnya kekuatan entitas ini pernah ditunjukkan oleh Anderson dan Cavanagh (2000) yang menyebutkan bahwa dari seratus kesatuan ekonomi terbesar di dunia, 51 diantaranya adalah korporasi (dikaji menurut angka perdagangan) dan 49 sisanya adalah negara (dinilai dari GDP negara). Tingkat perdagangan 200 korporasi terbesar bergerak lebih cepat dibandingkan aktivitas ekonomi global, sedangkan angka penjualan 200 korporasi tersebut 18 kali lebih besar dibandingkan pendapatan tahunan 1.2 milyar penduduk yang hidup dalam lingkaran kemiskinan. Sebagian besar raksasa bisnis itu berpusat di AS.
Di bawah tata politik ekonomi dunia yang demikian, 3 miliar manusia hidup dengan penghasilan di bawah 2 dolar per hari, 1.3 miliar orang tidak memiliki akses air bersih, 3 miliar orang tidak memiliki akses sanitasi dan 2 miliar orang tidak memiliki akses listrik. Dunia terancam tsunami krisis pangan yang dituding akibat peningkatan populasi dunia ketiga. Kenyataannya negara-negara industri Barat di bawah AS mengkonsumsi 81 persen barang dunia, meski sebagian besar sumber daya alam dan mineral untuk produksi barang dunia itu mayoritas dihasilkan oleh negara-negara dunia ketiga yang hanya mengkonsumsi 3.1 persen. Barat mengkonsumsi 50 persen minyak dan memproduksi kurang dari seperempatnya.
Replikasi Neoliberalisme
Bedjaoui (1985) dalam “Towards A New International Economic Order" menyatakan bahwa warisan hukum internasional selama ini tidak pernah bergeser dari monopoli negara-negara besar. Hukum internasional terus menerus menyelundupkan ciri khas dominasi dalam kaidah yang mengatur hubungan antara negara maju dan negara berkembang. Berbagai upaya melepaskan diri dari jeratan tersebut menemui kelembaman (inersia) karena kolonialisme terlanjur meresap ke dalam struktur. Struktur terhegemoni ini tercipta melalui penjajahan dan berlanjut dengan adopsi model pembangunan pasca kemerdekaan. Selama konsep pembangunan mengambil pola serta standar normatif dan orientasi nilai budaya Barat (baca AS) sebagai parameter “kemajuan” tunggal maka proses yang terjadi tak lebih dari modernisasi ala westernisasi (western developmentalism) (Peet and Hartwick, 1999). Pembangunan telah mengambil pola replikasi dan imitasi (peniruan) secara totalitas terhadap gaya-hidup, tata-kelembagaan ekonomi dan sosial, tata-pemerintahan, sistem ketatanegaraan dan hukum, serta mekanisme produksi-distribusi ekonomi ala Barat (AS). Sebagai hasilnya adalah ketergantungan sekaligus keterjebakan kontrol oleh negara kuat (baca AS) dan rontoknya identitas dan kemampuan bangsa lemah. Kontrol itu termasuk dalam ruang mindset yang sedemikian rupa terkungkung dalam alam penjajahan sehingga tak menghasilkan sedikitpun keberanian untuk berpikir diluar kotak.
Inilah yang agaknya menjadi alasan mengapa presiden SBY menyatakan perubahan tak bisa dilakukan tanpa mengikutsertakan AS. Mengapa neoliberalisme terus bercokol selama lebih dari 40 tahun di tanah air dan armada yang dimotori intelektual muda lulusan AS sangat leluasa mengabdikan diri pada kepentingan negara almamater mereka. Negara Obama. Semua karena struktur terhegemoni yang diwariskan dan dijaga hingga melintasi generasi.
Hingga kini, korporasi asing menguasai 85,4 persen dari 137 konsesi pengelolaan lapangan migas Indonesia dengan Chevron Pacific dan Conoco Phillips –keduanya milik AS- menduduki tempat teratas produsen migas Indonesia. Terungkapnya bukti keterlibatan lembaga donor bilateral AS (USAID) dalam merancang UU Minyak dan Gas Nomor 22/2001 semakin menegaskan bahwa cengkeraman AS dilakukan dengan berbagai cara. USAID bersama lembaga keuangan Asia Development Bank (ADB) dan Bank Dunia juga terungkap telah mendukung pemerintah menghapus subsidi BBM, membangun pondasi menuju liberalisasi migas Indonesia. Ini belum termasuk fakta keterlibatan mereka dalam demokratisasi politik dan kepemimpinan yang semakin mengekalkan kompradorisasi serta dependensi terhadap kepentingan AS dan sekutunya.Lalu dengan cara apa, bersama Obama, semua itu bisa diakhiri ?
Dunia Islam
Di balik harapan banyak pihak, Obama memiliki rencana tersendiri dalam politik luar negerinya. Pendekatan multilateralisme tidak pernah mengubah kepemimpinan AS dari poros kepentingan negara dan visi ideologinya.Sikap Obama terhadap Israel sangat jelas yakni mendukung pemerintah garis keras Israel. Obama telah membuat berbagai pernyataan yang hampir tak bisa dibedakan dengan pemerintahan Bush yang menegaskan komitmennya untuk memperkuat hubungan AS-Israel termasuk berupa bantuan ekonomi dan militer. Obama akan melanjutkan dukungan AS untuk solusi dua negara bahkan memastikan bahwa Yerusalem menjadi ibukota Israel (Haaretz 05/06/08). Publik menunggu apa yang diucapkan Obama saat tragedi Gaza berlangsung sedemikian memilukan. Tapi inilah yang dikeluarkan juru bicara keamanan nasional beberapa hari kemudian "The president-elect is closely monitoring global events, including the situation in Gaza. There is one president at a time, and we intend to respect that" (Chicago Tribune, 03/01/2009). Bandingkan dengan pernyataan kerasnya pada krisis Mumbai (Change.gov 26/11/2008) "President-elect Obama strongly condemns today's terrorist attacks in Mumbai, and his thoughts and prayers are with the victims, their families, and the people of India. These coordinated attacks on innocent civilians demonstrate the grave and urgent threat of terrorism. The United States must continue to strengthen our partnerships with India and nations around the world to root out and destroy terrorist networks. We stand with the people of India, whose democracy will prove far more resilient than the hateful ideology that led to these attacks".
Terkait Irak, Obama memang menentang perang Irak sejak awal dan mendukung penarikan pasukan dari Irak dalam waktu 16 bulan. Namun semata untuk fokus pada pertempuran di Afganistan (dan Pakistan). Obama menyatakan Afganistanlah medan pertempuran yang sesungguhnya, karenanya berulangkali Obama berjanji di hadapan publik untuk memperluas intervensi militer di Afganistan, meningkatkan jumlah pasukan AS, mengembangkan operasi dan membuat serangan lintas batas yang sistemik.Sebaliknya, tanpa deklarasi, Pakistan telah menjadi arena pertempuran baru AS. Sejak Agustus 2008 tak kurang dari 20 kali serangan udara dilakukan AS yang mengorbankan rakyat sipil. Pakistan dianggap merupakan rintangan utama untuk berhasil di Afganistan karena membiarkan para mujahid secara bebas menginfiltrasi masuk melalui perbatasan yang menghubungkan dua negara tersebut (Newsweek,11/08/08). Obama juga telah mendeklarasikan di hadapan publik bahwa rezimnya akan memperluas ‘war against terrorism' melalui serangan darat dan udara secara sistematik dalam skala besar terhadap Pakistan.
Pernyataan bahwa AS akan menjadi negara baru yang akan berteman dengan semua pihak dengan garis bawah kesiapan bekerjasama dengan dunia muslim semestinya tidak ditelan bulat-bulat sebaliknya dimaknai sebagai strategi politik baru yang membutuhkan kecerdasan politik lebih dalam mengingat Obama memasang wajah yang tak bersahabat dengan dunia muslim semacam Rahm Emanuel atau bahkan lebih jelas lagi memasang tangan menteri pertahanan Bush yaitu Robert Gates. Kenyataan yang justru menegaskan bahwa Obama sedang melanjutkan apa yang telah dirancang Bush sebelumnya dan mungkin menambahnya dengan berbagai kreasi baru.
Pelajaran Berharga
Bagi umat Islam, harapan perubahan memang tak pernah boleh pupus. Warisan kepemimpinan AS telah memberi pelajaran yang pahit sekaligus berharga. Pelajaran yang mestinya disadari pemimpin negeri ini bahwa perubahan tak akan diraih dengan menadahkan tangan atau menyandarkan masa depan pada pihak lain. Sebaliknya harapan perubahan semestinya ditanam dalam iman, kesadaran dan kerja keras membangkitkan negeri dengan tangan kaum muslim sendiri sebagaimana diwasiatkan Muhammad SAW.Hari ini AS merayakan satu kemenangannya dalam pergulatan internal ras dan etnik dengan naiknya Obama, padahal dunia Islam sesungguhnya telah mengakhirinya sejak 1300 tahun lalu dengan pernyataan Rasulullah SAW "Mendengar dan taatlah kalian walaupun yang memimpin kalian adalah bekas budak dari Habasyah yang kepalanya seperti kismis, selama dia menegakkan Kitabullah diantara kalian". Sebaliknya, berhadapan dengan penjajah dunia, dunia Islam justru harus siap menghadapinya dengan kekuatan politik yang sepadan. Sudah saatnya dunia Islam meneguhkan visi untuk melepaskan diri dari penjajahan dan menentukan masa depan mereka sendiri dengan membangun persatuan umat. Satu-satunya jalan untuk melangsungkan kehidupan yang lebih baik bahkan untuk berperan nyata, menyelamatkan bumi dari kerusakan dan menebarkan rahmat dalam kancah tata politik ekonomi dunia, sebagaimana Islam telah mengajarkannya ■
No comments:
Post a Comment