Thursday, April 1, 2010

OBAMA DAN NARASI BARU TERORISME

Nibras Hanif

Promosi rencana kedatangan Obama oleh media, dipadu sedemikian rupa dengan berita perburuan teroris. Tersangka yang langsung ditembak mati oleh Densus 88 disebut-sebut sebagai alumni jihad Afganistan dan memiliki keterkaitan dengan kelompok jihad di Filipina bahkan menjadi target buruan Amerika seharga 10 juta dolar AS.1 Maka berlanjutlah tayangan terorisme yang belakangan ini diputar dalam kemasan feature minim analisis (berupa catatan perjalanan investigasi reporter di Filipina dan Thailand)- dengan hujan opini keterkaitan jaringan teroris di Indonesia dengan sejumlah negara di Asia Tenggara. Juga tentang perubahan pola terorisme yang sebelumnya menyasar simbol-simbol dominasi asing kini menargetkan para pejabat negara dan instalasi penting dalam negeri.2,3

Meski diingkari keterkaitannya dengan kedatangan Obama, peristiwa ini agaknya akan menandai dicapainya kesepakatan penting dalam comprehensive partnership khususnya agenda kerjasama pertahanan Indonesia-AS yang tentu tak lepas dari agenda regional AS di Asia Tenggara maupun Asia Pasifik. Sebagaimana diungkap oleh juru bicara Gedung Putih Robert Gibbs, selama kunjungannya ke Indonesia pada 23 Maret mendatang, Obama akan menekankan soal langkah-langkah antiterorisme, sekaligus realisasi pidatonya di Mesir yang menghimbau perbaikan hubungan antara AS dan dunia Islam.4 Kiranya, membaca strategi counterterorisme Obama penting dilakukan untuk memahami secara utuh implikasinya bagi dunia Islam utamanya bagi Indonesia.

Strategi Obama
Asisten Presiden AS untuk Homeland Security dan Counterterrorism, John Brennan dalam forum khusus CSIS (06/08/2009) menjelaskan pendekatan baru Obama mengelola perang terhadap terorisme.5 Brennan, dalam penjelasannya menampik tudingan bahwa pendekatan Obama adalah upaya bongkar total terhadap kebijakan dan praktik yang diadopsi Bush. Sebaliknya strategi baru ini menurutnya adalah pendekatan realis yang dirancang untuk memperbaiki reputasi moral Amerika sekaligus memperkuat keamanan nasionalnya, tidak sebagaimana kebijakan Bush yang divergen sebelumnya.

Obama berusaha memisahkan dua tantangan yang diidentifikasinya saling terkait tetapi keduanya sangat berbeda. Tantangan pertama adalah apa yang disebutnya sebagai immediate-near term challenge yakni persistent-evolving Al Qaida and its affiliation. Terhadap tantangan ini Obama menegaskan sikapnya pada inagurasi ”our nation is at war against a far-reaching network of violence and hatred. And to win this war against Al qaida, the administration continues to be unrelenting, using every tool in its toolbox and every arrow in its quiver”. Untuk menghadapinya, sebagaimana diungkap Brennan, presiden AS ini mengoptimalkan kekuatan militer termasuk meningkatkan kapabilitas terutama Angkatan Darat dan Angkatan Laut, memimpin rezim global nonproliferasi, adaptasi dan penguatan komunitas intelijen termasuk peningkatan kemampuan lingusitik-kultural, kolaborasi dan koordinasi dengan partner intelijen luar negeri.
Adapun tantangan kedua adalah apa yang disebutnya sebagai long term challenge- the threat of violent extremism generally, termasuk faktor-faktor politik, ekonomi dan sosial yang dinilai menjadikan banyak individu berada dalam jalur kekerasan, maka pendekatan militer, operasi intelijen dan penegakan hukum saja menurutnya tidak akan mampu mengatasi masalah ini. Lima elemen pendekatan Obama untuk mengatasinya yaitu :

1. Perlawanan terhadap teroris dan ekstrimis diletakkan pada posisi yang tidak lagi mendistorsi keamanan nasional dan kebijakan luar negeri AS tetapi menjadi bagian penting (vital part) dari kebijakan-kebijakannya yang lebih luas tersebut.
2. Obama tidak lagi menggunakan War on terrorism untuk mendefinisikan tantangan AS karena menurutnya terorisme tidak lain adalah taktik –alat untuk mencapai tujuan. Sedang tujuan yang sesungguhnya (the end game) adalah “Global domination by Islamic Caliphate” (Brennan menyebut hal ini dg Al Qaeda sebagai contoh kasus). Namun demikian Brennan menegaskan untuk tidak menggambarkan konflik ini sebagai perang global karena ini akan meletakkan AS pada situasi berbahaya yakni mengesankan AS sedang berperang dengan seluruh dunia. Menurutnya sangat beresiko untuk meletakkan AS terpisah dari dunia.

3. Obama menolak istilah ‘jihadist’ pada teroris muslim karena akan memberikan legitimasi relijius dan pada saat yang sama memberi kesan AS sedang berperang dengan Islam. Definisi tantangan yang dikembangkan pemerintah Obama adalah AS sedang berperang dengan ‘violent extremism dan ideologies of violence.

4. Mengatasi faktor-faktor hulu pemicu ‘violent extremism’ dengan menjawab kebutuhan dasar masyarakat seperti keamanan, pendidikan, lapangan pekerjaan untuk mengisolasi ekstrimis dari masyarakat luas yang hendak mereka layani. Para ekstrimis (Brennan mencontohkan Hizbullah dan Hamas) dinilai memanfaatkan kemiskinan masyarakat untuk merekrut mereka melalui jaminan sosial yang mereka tawarkan lalu mengindoktrinasi masyarakat untuk melakukan tindakan teror. Dengan mengatasi faktor-faktor hulu ini diharapkan opini yang salah -yang dikembangkan para ekstrimis- bahwa AS sebenarnya ingin menjadikan masyarakat tetap melarat dan lemah akan bisa dihapuskan. Selanjutnya, masyarakatlah yang kemudian akan mengisolasi para ekstrimis dan bukan AS yang harus melakukannya.

5. Menggunakan semua elemen kekuatan nasional untuk mengatasi penyebab dan kondisi pemicu berbagai ancaman termasuk violent extremism. Brennan menjelaskan sikap Obama dengan pernyataannya “We will use our military power not only to take down Al Qaida and its allies but to train and build up the capacity of foreign militaries and security forces, as we doing from Iraq to Afganistan, to Africa because if these militaries and security forces can uphold the rule of law, if these countries can take responsibility for their own security than militias, warlords and terrorist will find it harder to win sympathizers and recruit with false promise of security and stability”.

Narasi Baru
Sesungguhnya narasi baru telah dikembangkan seiring perubahan strategi counterterorisme Obama. Pidato Obama di Kairo menandai hal tersebut dengan upayanya mengubah opini dunia Islam yang sebelumnya memandang hegemoni dan ketidakadilan global di bawah kepemimpinan AS sebagai akar penyebab teror untuk berbalik menuding ideologi teroris sebagai pemicunya. Sesuatu yang dirancang, diinisiasi dan diusahakan tapi tak mampu diwujudkan oleh Bush. 6

Melalui narasi ini sesungguhnya Obama telah menggeser fokus dari perang terhadap teror  kepada perang terhadap ideologi yang dituding melatarbelakangi teror sebagaimana yang disebut Brennan perang melawan violence exstrimist dan ideologies of violence. Itulah alasan mengapa counterterorisme kini menyasar ekstrimis yakni kelompok yang dituduh memiliki pemahaman/ideologi Islam yang ekstrim, terdistorsi atau sesat (distorted/perverted) dan karenanya dituding potensial melakukan teror. Ideologi inilah yang hendak diadili dan berusaha dialienasi karena diproyeksikan mampu menginspirasi banyak orang untuk mengalami radikalisasi sehingga mengambil jalan kekerasan. Karenanya teroris yang di masa Bush digambarkan sebagai musuh global dengan sasaran utama AS dan sekutunya kini berganti menjadi ekstrimis jahat yang mengancam keamanan nasional.

Apa yang menjadikan Obama mampu menaikkan level dari perang terhadap teror kepada perang ideologi dengan tanpa tampak berperang dan mencemari citranya sebagai sosok yang berniat menjalin hubungan baik? Selain didukung oleh kemampuan diplomasi dan upayanya memisahkan strategi counterterorisme dengan promosi demokrasi, tidak lain adalah karena warisan Bush. Diakui atau tidak pemerintahan Bush telah mewariskan infrastruktur perang ini baik dalam front kultural maupun militer.

Dalam front kultural, AS di bawah Bush telah meletakkan landasan war on ideas dan battle for hearts and mind serta mengembangkan konsensus pada negara-negara Barat sekutunya bahwa perang tersebut harus dimenangkan dan bila tidak maka akan lebih banyak muslim yang berubah menuju radikalisme (Islam). Hari ini, sekutu AS menangani berbagai isu yang terkait dengan berkembangnya aspirasi umat Islam termasuk dalam politik di lingkungan domestik  mereka melalui logika yang serupa yakni meletakkan penyebaran ideologi yang dituduh melatarbelakangi terorisme itu sebagai ancaman keamanan nasionalnya dan menggunakan langkah serupa yakni counterradikalisasi.7 Didalamnya terintegrasi program yang mereaktualisasi berbagai strategi kultural yang telah dibangun Bush yang bertumpu pada upaya perubahan Islam dari dalam.

Sebagaimana yang ditulis Kaplan (2005), secara praktis sejak 2003, setelah kegagalannya dalam perang 9/11, Bush mengubah operasi dari psikologi militer dan CIA yang tertutup kepada pendanaan secara luas think tank dan media. Setelah ratusan penelitian dan interview, dihasilkan rekomendasi yang disebut sebagai Islamic Reformation. Rencana yang dikutip Kaplan sebagai working through third parties--moderate Muslim nations, foundations, and reform groups--to promote shared values of democracy, women's rights, and tolerance. Washington menggelontorkan miliaran dolar bukan hanya untuk mempengaruhi masyarakat Islam melainkan Islam itu sendiri. Pada lebih dari 2 lusin negeri Islam, Washington secara diam-diam mendanai radio Islam, TV, kursus di sekolah muslim, para pemikir muslim (muslim think tank) workshop politik dan berbagai program untuk mempromosikan Islam moderat. CIA juga merevitalisasi program dan aksi-aksi tersembunyinya saat membantu memenangkan perang dingin untuk digunakan menyasar media Islam, pemimpin relijius dan partai-partai politik dan karenanya menerima peningkatan secara eksponensial dana, personalia maupun aset untuk mempengaruhi dunia Islam. Diantara taktik-taktik tersebut adalah bekerjasama dengan militan yang berselisih paham dengan Al Qaeda dan melancarkan kampanye rahasia untuk mendiskreditkan pengikut fanatik anti Amerika.8 Demikianlah strategi kultural ini telah diinisiasi dan hingga kini terus berlanjut.

Dalam front militer Bush telah mendanai dan mengembangkan armada militer di berbagai negara untuk memerangi teroris yang sekarang ini disasar sebagai ekstrimis. Laporan RAND-CISS 2009 misalnya menjelaskan sejak kurun waktu AS telah mendanai pembentukan elit densus 88 di Indonesia.9 Tak jauh beda dengan di negeri-negeri muslim lain, narasi baru terorisme juga membangun opini bahwa level ancaman ekstrimis telah sampai pada titik yang mengharuskan negara melakukan pendekatan terintegrasi bahkan penguatan kerjasama regional untuk menghadapinya dengan menafikan ancaman lainnya. Tentu saja ini dilakukan melalui infrastruktur lama yang telah dibangun pemerintah AS sebelumnya.

Maka dengan infrastruktur perang yang telah dibangun di berbagai negara, pergeseran front ini mau tidak mau dihadapkan pada masing-masing negara untuk menanganinya sebagai ancaman nasional negara yang bersangkutan. Soft Power AS di bawah Obama membuat negara –negara berperang dengan terorisme seolah-olah untuk kepentingan mereka bukan lagi untuk kepentingan AS. Melalui bangunan infrastruktur perang warisan Bush baik dalam front kultural maupun militer, dan narasi baru Obama, negara-negara didorong melakukan perang internal dengan ekstrimis dan AS akan membantu mereka untuk terus meningkatkan kapabilitas negara menghadapi ancaman ini. Inilah pendekatan Obama, sekali lagi sesuatu yang diinginkan tapi tak mampu direalisasikan Bush.

Indonesia dan dimensi regional
Laporan RAND – CISS 2009 telah menunjukkan framing narasi tersebut melalui analisanya terhadap beragam kelompok yang dituding sebagai militan ekstrimis dan dinilai potensial berkembang menjadi teroris di wilayah Asia Tenggara utamanya di Filipina, Thailand dan Indonesia.10 AS memetakan mereka sebagai ancaman utama bagi keamanan nasional dan ancaman riil bagi keamanan regional. Dalam dimensi regional mereka dituding AS berbahaya sebagai kelompok yang melakukan kekerasan bermotif politik yang mengeksploitir dan memperburuk konflik di Asia Tenggara. Bila di wilayah timur tengah konflik antar negara (inter-state) rawan untuk dimanfaatkan maka di Asia Tenggara, konflik –konflik internal (dalam negeri/intra-state) sebagaimana laporan Vatikiotis 11 inilah yang agaknya terus dibidik sebagai jalan masuknya campur tangan AS baik secara bilateral maupun multilateral.

Sejumlah rekomendasi kebijakan asistensi keamanan AS di Asia Tenggara dalam rangka menjaga kepentingannya dilakukan melalui langkah-langkah:
1) Mengintegrasikan secara lebih baik strategi counterterorisme (CT), hukum dan peraturan serta kebijakan-kebijakan pembangunan untuk mengatasi isu-isu korupsi di wilayah ini. Hal ini dinilai krusial agar para pejabat terpilih dan birokrat mampu memenangkan kepercayaan komunitas mereka sendiri dan dengan cara demikian mengabaikan teroris dan pengaruh politik mereka

2) Melanjutkan reformasi polisi di Filipina dan Thailand

3) Membantu menciptakan wilayah yang tidak terlalu ramah bagi terorisme di Asia Tenggara melalui peningkatan dukungan terhadap institusi-institusi regional semacam ASEAN, ASEAN Regional Forum, APEC, dan EAS (East Asia Summit). Penyaluran bantuan keamanan dan pendampingan counterterorisme melalui kerangka kolaboratif semacam ini diharapkan akan mengurangi persepsi bahwa terorisme adalah kepentingan khusus AS. Langkah ini juga dinilai akan memberi kesempatan untuk menunjang kapabilitas area setempat ketika Washington tidak mampu mengambil tindakan secara bilateral karena alasan politik maupun logistik

4) Menekan kesepuluh negara ASEAN untuk menandatangani dan meratifikasi seluruh (16) konvensi PBB terkait counterterorisme

5) Menekankan penggunaan ‘soft power’ untuk memperkuat pemerintahan lokal di wilayah yang rentan terhadap propaganda fundamentalis (melalui INCLE); mendorong militer dan polisi untuk memiliki kesadaran yang lebih besar terkait HAM dan aturan lain (melalui IMET) dan meningkatkan pembangunan sosioekonomi secara umum (melalui USAID atau ESF)

6) Menambah penggunaan ‘soft power’ dengan ‘smart power’ melalui langkah-langkah : (a) mempelopori diplomasi publik, pertukaran dan upaya-upaya pendidikan untuk mendiskreditkan pemahaman/intepretasi Islam yang sesat; (b) memberdayakan para pemimpin muslim moderat sebagai suara negosiasi relijius yang lebih besar; (c) meneliti alternative yang mungkin digunakan untuk mengurangi tarikan sentiment –pan regional dari dalam keluar, dengan memastikan sejauh mana muncul celah antara JI mainstream dan faksi pro pengeboman yang dapat dieksploitasi; (4) mempromosikan reformasi penjara untuk mengurangi potensinya digunakan sebagai pusat rekrutmen atau radikalisasi.

7) Memberi perhatian lebih besar untuk identifikasi dan mendukung sistem penyiaran konvensional maupun non konvensional serta sistem pengiriman pesan yang secara efektif dapat digunakan dalam strategi komunikasi multi-lapisan. Semua ini ditujukan untuk melawan aktivitas penyesatan oleh kelompok-kelompok ekstrimis.

Catatan Kritis
Sesungguhnya narasi terorisme sejak dicetuskan pertama kali hingga direvisi saat ini telah menjadi bahasa monolitik AS. AS yang merancang, menginisiasi, dan memperbaharui dengan pendekatan yang silih berganti. Sementara dengan alasan interdependensi, dunia dan negeri Islam pada umumnya terus didesak untuk membangun pertahanan negaranya atas dasar ancaman yang juga didefinisikan secara monolitik oleh AS. Lalu akan seperti apa masa depan Indonesia yang telah dihisap kekayaannya, dimiskinkan penduduknya, dibeli pemimpinnya, dirusak generasi mudanya, diperkosa khasanah intelektual dan keyakinannya? Juga akan seperti apa masa depan dunia yang terus dipojokkan untuk melanjutkan kegagalan sistemik dari tatanan politik dan ekonomi impor, sehingga seolah-olah Pencipta alam ini tidak memberi jalan keluar sama sekali? Tentu pertanyaan ini tidak bisa dialamatkan kepada Obama dengan narasi barunya dan kepentingan nasionalnya. Pertanyaan itu hanya bisa ditujukan kesadaran politik umat Islam. Pada sejauhmana aspirasi keimanan mendidik kepekaannya untuk mencermati berbagai strategi dalam upayanya mengemban tanggung jawab menyelamatkan Indonesia dan dunia. Wallahu ‘alam

Daftar Bacaan :
1 http://nasional.tvone.co.id/berita/view/34100/2010/03/09/amerika_serikat_hargai_teroris_dulmatin_us_10_juta/ diakses 10/03/2010
2 http://www.koran-jakarta.com/berita-detail.php?id=47134 diakses 10/03/2010
3 http://nasional.kompas.com/read/2008/10/24/15275160/teroris.mulai.incar.objek.milik.pemerintah
diakses 10/03/2010
4 http://www.detiknews.com/read/2010/03/12/091909/1316790/10/obama-anggap-kunjungan-ke-indonesia-sangat-penting
diakses 10/03/2010
5 John O Brennan (Assistant to The President for Homeland Security and Counterterrorism). A New Approach for Safeguarding Americans. Center for Strategic and International Studies (CSIS). Transcript by Federal News Service Washington DC, August 6th, 2009
6 Lihat US National Security Strategy
7 Lihat White Paper Australia, Contest 2 dan berbagai strategi keamanan negara Eropa
8 David E Kaplan. Hearts, Minds, and Dollars In an Unseen Front in the War on Terrorism, America is Spending Millions...To Change the Very Face of Islam. USNews. 2005
http://www.usnews.com/usnews/news/articles/050425/25roots.htm
9,10 Peter Chalk et. al. The Evolving Terrorist Threat to South East Asia A Net Assessment. RAND National Defense Research Institute and Centre for International Security Studies (CISS). 2009
11 Michael Vatikiotis. Southeast Asia’s Internal Conflicts. Regional Mediation Tools in Regional Security Outlook 2009-2010. Council for Security Cooperation in The Asia Pasific (CSCAP). 2009

No comments:

Post a Comment